Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
“Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya”.
(HR. Bukhori)
dari Abu Musa ia berkata;
Suatu saat kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat berdo’a dan bertakbir.”
Namun mereka tetap mengangkat suara mereka, Maka beliau pun bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Rabb yang tuli, tidak pula ghaib, sesungguhnya Dia bersama kalian.”
(HR. Ahmad (dan ini lafazhnya), Muslim, dll.)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَي بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
Sesungguhnya orang yang shalat itu berbisik/bermunajat kepada Penguasanya, maka hendaklah dia memperhatikan dengan apa yang bisikkan/dimunajatkan kepada-Nya. Dan janganlah sebagian kamu mengeraskan (bacaan) al-Qur’ân atas yang lain.
[Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no:1951; dinukil almanhaj.or.id]
Al-Haafizh Ibn Katsir Råhimahullåh berkata,
“Oleh karena itu Alloh berfirman,
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
“dengan tidak mengeraskan suara”,
demikianlah ketika berdzikir (hendaknya tidak mengeraskan suara-pen), dan dzikir bukanlah berupa sahutan dan suara yang keras”
(Tafsirul Qur’anil Azhim)
Syaikhul Islam berkata,
“Dari sini tidak boleh bagi seorang pun mengeraskan bacaan Al Qur’an-nya sehingga menyakiti saudaranya yang lain seperti menyakiti saudara-saudaranya yang sedang shalat.”
(Lihat Majmu’ Al Fatawa, 23/64; dinukil dari rumaysho)
Berkata Al-Baji:
“Karena hal itu dapat mengganggu dan menghalangi orang yang sedang serius melaksanakan shålat, mengganggu kesunyiannya (keheningannya); dan (menganggu) konsentrasi untuk memunajatkan al-Qur-aan kepada Råbbnya.
Jika mengeraskan bacaan al-Qur-aan tidak boleh, karena dapat menganggu orang yang sedang shålat, maka berbicara keras dengan omongan yang lain lebih terlarang”
Berkata Abdil Barr:
” Jika umat Islam dilarang mengganggu muslim lainnyta dengan perkataan/perbuatan yang baik (seperti) membaca al-qur’an. maka mengganggunya dengan hal lain hukumnya sangat haram”
[Sumber: "Dari Takbiratul Ihram Hingga Salam" (Terjemahan bahasa indonesia dari shifat shålat nabiy karya syaikh al-albaniy) Dalam BAB: "Wajib membaca saat siir" hlm. 233, Cet. 1]
Subhanallåh.. ALANGKAH INDAHNYA SYARI’AT ISLAM..
Lantas bagaimana dengan orang-orang yang mengganggu saudara semuslimnya dengan LISAN-LISAN yang BURUK, dengan PERBUATAN-PERBUATAN yang KEJI, MERUSAK KEHORMATAN saudaranya, bahkan sampai MENUMPAHKAN DARAH saudaranya? lantas bagaimana lagi jika orang tersebut dengan bangganya me-labeli dirinya “pejuang syari’at”.
Jika memang ia melabeli dirnya “pejuang syari’at”, maka laqob yang pantas baginya adalah “pejuang kebodohan”, pejuang yang SAMA SEKALI tidak mengenal syari’at dan SAMA SEKALI tidak mencerminkan syari’at Islam dalam dirinya Allåhul musta’aan..
Hendaknya kita benar-benar memperhatikan hal ini:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
’Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“TIDAK ADA KEBAIKAN di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.”
Para sahabat lalu berkata,
“Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.”
Beliau bersabda,
هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Dia adalah dari penduduk surga.”
[(Shahih) Lihat Ash Shahihah (190); dinukil dari: rumaysho]
Allåhu akbar.. alangkah meruginya wanita itu, betapa banyak ia mengumpulkan amalan-amalan yang shålih, TAPI kebaikan-kebaikan itu TIDAK DIANGGAP, akibat jeleknya ucapan/perbuatan-nya yang mengganggu tetangganya.
Dan alangkah bahagianya, wanita yang lain, yang dengan ‘hanya’ amalan-amalan wajib serta sedekah, ia dapat menjadi salah satu ahli sorga disebabkan amalannya dan begitu terjaganya ia dari ucapan-ucapan/perbuatan yang jelek.
Maka hendaknya orang-orang yang sekarang ini BERUSAHA berada diatas al-qur’an, as-sunnah yang shåhih sesuai pemahaman salafush shålih, benar-benar menjaga LISAN dan PERBUATANnya, sehingga ia tidak menyesal di hari akhir; disebabkan JELEKNYA/BURUKNYA/KEJINYA ucapan dan perbuatannya..
Semoga kita dapat menjadi seorang muslim yang senantiasa berjalan diatas al-qur’an, as-sunnah, menurut pemahaman salafush shalih; dalam aqidah, manhaj, AKHLAK serta MUAMALAH kita..
aamiin..
Ketahuilah orang yang tidak menjaga lisannya termasuk orang yang tidak tahu malu!
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”.
Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi (yang dimaksud) benar-benar malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya”
(sampai akhir hadits)
[HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîhut Targhîb, 3/6, no. 2638; dinukil dari: almanhaj]
Tidakkah ia malu kepada Allah, Yang Maha Mendengar setiap ucapan yang keluar dari hambaNya?
Bukankah ia membaca firmanNya:
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”
(QS. Qaaf: 18)
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ . كِرَامًا كَاتِبِينَ . يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Infithar: 10-12)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
Malaikat tersebut mencatat setiap perkataan hamba, yang baik maupun yang buruk hingga mereka menulis perkataan; saya berkata, saya minum, saya pergi, saya datang, dan saya melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata:
“Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit. Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya.”
[Tafsir Ibnu Katsir 4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda, melucu atau “hanya sekedar iseng” (tanpa ada maksud yang JELAS dalam perkataan tersebut)?!!
Dinukil dari sebagian ulama:
“Jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara.”
Ingatlah bahwa Dia berfirman:
وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.
(Hud: 123)
Allah berfirman:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
(Al-Mujaadilah: 6)
Maka dari itu dalam penjagaan lisan ini, Rasulullah menghubungkannya dengan iman kepada Allah dan hari akhir (sebagaimana akan disebutkan dalam hadits berikut).
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam”.
[Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47); dinukil dari almanhaj.or.id]
Imam an Nawawiy juga berkata:
Hadits yang disepakati keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas. Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang timbulnya maslahatnya, maka hendaklah ia tidak berbicara.
Imam asy-Syafi’i berkata:
“Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya”
[Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâliy; dinukil dari almanhaj]
Imam an-Nawawi rahimahullah juga berkata:
“Ketahuilah, seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang JELAS MASLAHAT padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya, maka menurut Sunnah adalah MENAHAN DIRI darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada bandingannya.”
Imam Ibnu Rajab berkata tentang hadits diatas:
Dalam hadits ini Rasululloh memerintahkan untuk berkata yang baik dan tidak berbicara selainnya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada disana suatu perkataan yang seimbang dari segi perintah untuk mengucapkannya atau diam darinya.
Bahkan adakalanya berupa kebaikan yang diperintahkan untuk diucapkan, dan adakalanya bukan suatu kebaikan sehingga diperintah untuk diamdarinya.
Maka tidaklah perkataan itu diperintahkan untuk selalu diucapkan, dan tidak juga diperintahkan untuk selalu diam. Tetapi wajib berkata yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.
Ulama’ salaf banyak memuji sikap diam dari ucapan jelek, dan dari perkataan yang tidak perlu. Karena sikap diam itu sangat berat bagi jiwa. Sehingga banyak manusia yang tidak kuasa mengekang diri. Oleh karena itu, ulama’ salaf berusaha mengekang diri-diri mereka, dan bersungguh-sungguh untuk diam dari bicara hal-hal yang tidak perlu.
(Jami’ul Ulum wal Hikam 1/340, 346; Dikutip dari majalah Al-Furqon 2/II/1423H hal 19 – 20; dari blogvbaitullah)
Standar minimal seorang muslim adalah terjaganya ia dari kejelekan LISAN dan tangannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang tidak mengganggu muslim yang lain dengan lisan dan tangannya. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang paling baik islamnya adalah yang paling menjaga lisannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ اْلمُؤْمِنِينَ إِسْلاَمًا مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
“Orang muslim yang paling baik (kualitas) keislamannya adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.”
(Shahiih; HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, Ibnu Nashar dalam ash-Shalat, lihat ash-Shahihah no.1491)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ قِلَّةَ الْكَلامِ فِيمَا لا يَعْنِيهِ
“Sesungguhnya merupakan kebaikan Islam seseorang adalah sedikitnya bicara hal-hal yang yang tidak bermanfaat baginya”
[Hasan lighåyrihi, Diriwayatkan oleh Ahmad 1/210 serta Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 2886) dan Ash-Shaghiir 2/1]
Pejagaan lisan merupakan salah satu sebab yang membantu istiqamahnya seseorang diatas agamanya
Rasulullah setelah menyebutkan semua hal-hal yang wajib, hal-hal yang sunnah, dan sebagainya, maka beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ
“Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?”
Aku menjawab; ‘Ya, wahai Nabi Allah.’
Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda:
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
“‘Tahanlah atasmu ini.”
Aku bertanya; ‘Wahai Nabi Allah, (Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?’
Beliau menjawab;
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?”
Abu Isa berkata; ‘Ini hadits hasan shahih.’
(Shahih, Diriwayatkan oleh, Ahmad, Tirmidziy, Nasa’iy, Ibnu Majah, Ma’mar, Ibnu Humaid, Al-Mawarjiy, Ath-thåbråniy, Al-Qådhååiy, Al-Baihaqiy, Al-Baghawiy)
Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ
“Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan:
اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang”.
[HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam, 1/511-512; dinukil dari almanhaj]
Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga”.
[HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13; dinukil dari almanhaj]
Penjagaan lisan merupakan sebab keselamatan seseorang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan, menjaga lidah merupakan keselamatan.
“Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”.
[HR. Tirmidzi, no. 2406; dinukil dari almanhaj].
Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.
[Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi; dinukil dari almanhaj]
Jaminan nabi kepada orang-orang yang menjaga lisannya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (yaitu LISANnya) dan apa yang ada di antara dua kakinya, (yaitu KEMALUANnya), niscaya aku menjamin surga baginya”.
[HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri; dinukil dari almanhaj]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسَكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ :
“Jaminlah bagiku enam perkara, maka aku akan menjamin bagimu surga;
أَدُّوا إِذَا ائْتُمِنْتُمْ
Jujurlah jika kalian berbicara,
وَأَوْفُوا إِذَا عَاهَدْتُمْ
tunaikanlah jika kalian berjanji,
(sampai akhir hadits)
(Lihat as-silsilah as-shahihah, Syaikh al-Bani –rahimahullah. No 1470; lihat syarahnya disini)
Maka hendaknya kita senantiasa menjaga lisan kita dari hal-hal yang jelek dan tidak bermanfaat, dan menghiasinya dengan hal-hal yang baik, yang benar, yang memiliki kemaslahatan yang jelas.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
“Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya”.
(HR. Bukhori)
dari Abu Musa ia berkata;
Suatu saat kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat berdo’a dan bertakbir.”
Namun mereka tetap mengangkat suara mereka, Maka beliau pun bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Rabb yang tuli, tidak pula ghaib, sesungguhnya Dia bersama kalian.”
(HR. Ahmad (dan ini lafazhnya), Muslim, dll.)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَي بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
Sesungguhnya orang yang shalat itu berbisik/bermunajat kepada Penguasanya, maka hendaklah dia memperhatikan dengan apa yang bisikkan/dimunajatkan kepada-Nya. Dan janganlah sebagian kamu mengeraskan (bacaan) al-Qur’ân atas yang lain.
[Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no:1951; dinukil almanhaj.or.id]
Al-Haafizh Ibn Katsir Råhimahullåh berkata,
“Oleh karena itu Alloh berfirman,
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
“dengan tidak mengeraskan suara”,
demikianlah ketika berdzikir (hendaknya tidak mengeraskan suara-pen), dan dzikir bukanlah berupa sahutan dan suara yang keras”
(Tafsirul Qur’anil Azhim)
Syaikhul Islam berkata,
“Dari sini tidak boleh bagi seorang pun mengeraskan bacaan Al Qur’an-nya sehingga menyakiti saudaranya yang lain seperti menyakiti saudara-saudaranya yang sedang shalat.”
(Lihat Majmu’ Al Fatawa, 23/64; dinukil dari rumaysho)
Berkata Al-Baji:
“Karena hal itu dapat mengganggu dan menghalangi orang yang sedang serius melaksanakan shålat, mengganggu kesunyiannya (keheningannya); dan (menganggu) konsentrasi untuk memunajatkan al-Qur-aan kepada Råbbnya.
Jika mengeraskan bacaan al-Qur-aan tidak boleh, karena dapat menganggu orang yang sedang shålat, maka berbicara keras dengan omongan yang lain lebih terlarang”
Berkata Abdil Barr:
” Jika umat Islam dilarang mengganggu muslim lainnyta dengan perkataan/perbuatan yang baik (seperti) membaca al-qur’an. maka mengganggunya dengan hal lain hukumnya sangat haram”
[Sumber: "Dari Takbiratul Ihram Hingga Salam" (Terjemahan bahasa indonesia dari shifat shålat nabiy karya syaikh al-albaniy) Dalam BAB: "Wajib membaca saat siir" hlm. 233, Cet. 1]
Subhanallåh.. ALANGKAH INDAHNYA SYARI’AT ISLAM..
Lantas bagaimana dengan orang-orang yang mengganggu saudara semuslimnya dengan LISAN-LISAN yang BURUK, dengan PERBUATAN-PERBUATAN yang KEJI, MERUSAK KEHORMATAN saudaranya, bahkan sampai MENUMPAHKAN DARAH saudaranya? lantas bagaimana lagi jika orang tersebut dengan bangganya me-labeli dirinya “pejuang syari’at”.
Jika memang ia melabeli dirnya “pejuang syari’at”, maka laqob yang pantas baginya adalah “pejuang kebodohan”, pejuang yang SAMA SEKALI tidak mengenal syari’at dan SAMA SEKALI tidak mencerminkan syari’at Islam dalam dirinya Allåhul musta’aan..
Hendaknya kita benar-benar memperhatikan hal ini:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
’Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“TIDAK ADA KEBAIKAN di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.”
Para sahabat lalu berkata,
“Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.”
Beliau bersabda,
هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Dia adalah dari penduduk surga.”
[(Shahih) Lihat Ash Shahihah (190); dinukil dari: rumaysho]
Allåhu akbar.. alangkah meruginya wanita itu, betapa banyak ia mengumpulkan amalan-amalan yang shålih, TAPI kebaikan-kebaikan itu TIDAK DIANGGAP, akibat jeleknya ucapan/perbuatan-nya yang mengganggu tetangganya.
Dan alangkah bahagianya, wanita yang lain, yang dengan ‘hanya’ amalan-amalan wajib serta sedekah, ia dapat menjadi salah satu ahli sorga disebabkan amalannya dan begitu terjaganya ia dari ucapan-ucapan/perbuatan yang jelek.
Maka hendaknya orang-orang yang sekarang ini BERUSAHA berada diatas al-qur’an, as-sunnah yang shåhih sesuai pemahaman salafush shålih, benar-benar menjaga LISAN dan PERBUATANnya, sehingga ia tidak menyesal di hari akhir; disebabkan JELEKNYA/BURUKNYA/KEJINYA ucapan dan perbuatannya..
Semoga kita dapat menjadi seorang muslim yang senantiasa berjalan diatas al-qur’an, as-sunnah, menurut pemahaman salafush shalih; dalam aqidah, manhaj, AKHLAK serta MUAMALAH kita..
aamiin..
Ketahuilah orang yang tidak menjaga lisannya termasuk orang yang tidak tahu malu!
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”.
Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi (yang dimaksud) benar-benar malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya”
(sampai akhir hadits)
[HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîhut Targhîb, 3/6, no. 2638; dinukil dari: almanhaj]
Tidakkah ia malu kepada Allah, Yang Maha Mendengar setiap ucapan yang keluar dari hambaNya?
Bukankah ia membaca firmanNya:
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”
(QS. Qaaf: 18)
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ . كِرَامًا كَاتِبِينَ . يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Infithar: 10-12)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
Malaikat tersebut mencatat setiap perkataan hamba, yang baik maupun yang buruk hingga mereka menulis perkataan; saya berkata, saya minum, saya pergi, saya datang, dan saya melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata:
“Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit. Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya.”
[Tafsir Ibnu Katsir 4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda, melucu atau “hanya sekedar iseng” (tanpa ada maksud yang JELAS dalam perkataan tersebut)?!!
Dinukil dari sebagian ulama:
“Jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara.”
Ingatlah bahwa Dia berfirman:
وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.
(Hud: 123)
Allah berfirman:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
(Al-Mujaadilah: 6)
Maka dari itu dalam penjagaan lisan ini, Rasulullah menghubungkannya dengan iman kepada Allah dan hari akhir (sebagaimana akan disebutkan dalam hadits berikut).
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam”.
[Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47); dinukil dari almanhaj.or.id]
Imam an Nawawiy juga berkata:
Hadits yang disepakati keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas. Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang timbulnya maslahatnya, maka hendaklah ia tidak berbicara.
Imam asy-Syafi’i berkata:
“Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya”
[Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâliy; dinukil dari almanhaj]
Imam an-Nawawi rahimahullah juga berkata:
“Ketahuilah, seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang JELAS MASLAHAT padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya, maka menurut Sunnah adalah MENAHAN DIRI darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada bandingannya.”
Imam Ibnu Rajab berkata tentang hadits diatas:
Dalam hadits ini Rasululloh memerintahkan untuk berkata yang baik dan tidak berbicara selainnya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada disana suatu perkataan yang seimbang dari segi perintah untuk mengucapkannya atau diam darinya.
Bahkan adakalanya berupa kebaikan yang diperintahkan untuk diucapkan, dan adakalanya bukan suatu kebaikan sehingga diperintah untuk diamdarinya.
Maka tidaklah perkataan itu diperintahkan untuk selalu diucapkan, dan tidak juga diperintahkan untuk selalu diam. Tetapi wajib berkata yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.
Ulama’ salaf banyak memuji sikap diam dari ucapan jelek, dan dari perkataan yang tidak perlu. Karena sikap diam itu sangat berat bagi jiwa. Sehingga banyak manusia yang tidak kuasa mengekang diri. Oleh karena itu, ulama’ salaf berusaha mengekang diri-diri mereka, dan bersungguh-sungguh untuk diam dari bicara hal-hal yang tidak perlu.
(Jami’ul Ulum wal Hikam 1/340, 346; Dikutip dari majalah Al-Furqon 2/II/1423H hal 19 – 20; dari blogvbaitullah)
Standar minimal seorang muslim adalah terjaganya ia dari kejelekan LISAN dan tangannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang tidak mengganggu muslim yang lain dengan lisan dan tangannya. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang paling baik islamnya adalah yang paling menjaga lisannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ اْلمُؤْمِنِينَ إِسْلاَمًا مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
“Orang muslim yang paling baik (kualitas) keislamannya adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.”
(Shahiih; HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, Ibnu Nashar dalam ash-Shalat, lihat ash-Shahihah no.1491)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ قِلَّةَ الْكَلامِ فِيمَا لا يَعْنِيهِ
“Sesungguhnya merupakan kebaikan Islam seseorang adalah sedikitnya bicara hal-hal yang yang tidak bermanfaat baginya”
[Hasan lighåyrihi, Diriwayatkan oleh Ahmad 1/210 serta Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 2886) dan Ash-Shaghiir 2/1]
Pejagaan lisan merupakan salah satu sebab yang membantu istiqamahnya seseorang diatas agamanya
Rasulullah setelah menyebutkan semua hal-hal yang wajib, hal-hal yang sunnah, dan sebagainya, maka beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ
“Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?”
Aku menjawab; ‘Ya, wahai Nabi Allah.’
Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda:
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
“‘Tahanlah atasmu ini.”
Aku bertanya; ‘Wahai Nabi Allah, (Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?’
Beliau menjawab;
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?”
Abu Isa berkata; ‘Ini hadits hasan shahih.’
(Shahih, Diriwayatkan oleh, Ahmad, Tirmidziy, Nasa’iy, Ibnu Majah, Ma’mar, Ibnu Humaid, Al-Mawarjiy, Ath-thåbråniy, Al-Qådhååiy, Al-Baihaqiy, Al-Baghawiy)
Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ
“Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan:
اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang”.
[HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam, 1/511-512; dinukil dari almanhaj]
Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga”.
[HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13; dinukil dari almanhaj]
Penjagaan lisan merupakan sebab keselamatan seseorang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan, menjaga lidah merupakan keselamatan.
“Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”.
[HR. Tirmidzi, no. 2406; dinukil dari almanhaj].
Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.
[Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi; dinukil dari almanhaj]
Jaminan nabi kepada orang-orang yang menjaga lisannya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (yaitu LISANnya) dan apa yang ada di antara dua kakinya, (yaitu KEMALUANnya), niscaya aku menjamin surga baginya”.
[HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri; dinukil dari almanhaj]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسَكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ :
“Jaminlah bagiku enam perkara, maka aku akan menjamin bagimu surga;
أَدُّوا إِذَا ائْتُمِنْتُمْ
Jujurlah jika kalian berbicara,
وَأَوْفُوا إِذَا عَاهَدْتُمْ
tunaikanlah jika kalian berjanji,
(sampai akhir hadits)
(Lihat as-silsilah as-shahihah, Syaikh al-Bani –rahimahullah. No 1470; lihat syarahnya disini)
Maka hendaknya kita senantiasa menjaga lisan kita dari hal-hal yang jelek dan tidak bermanfaat, dan menghiasinya dengan hal-hal yang baik, yang benar, yang memiliki kemaslahatan yang jelas.
Sumber : http://abuzuhriy.com
Posting Komentar