Kelima, Kasih Sayang dalam Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron : 110)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Amar ma’ruf (mengajak kepada yang ma’ruf) dan nahi mungkar (mencegah dari kemungkaran) merupakan sebab Allah menurunkan kitab-kitabNya dan mengutus para rasul-Nya. Dan dia (amar ma’ruf nahi mungkar) merupakan bagian dari agama.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar hal. 9. Sebagaimana dalam Haqiqotul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar, Syaikh Dr. Hamd Al ‘Ammar hal. 34-35)
Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk asas terpenting dalam Islam karena hakekat Islam adalah melaksanakan kema’rufan (kebaikan) dan meninggalkan kemungkaran, dan itu semua tidak akan tegak bila tidak ada yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.
Bila tidak ada amar ma’ruf, manusia akan meninggalkan kewajiban agama yang dibebankan kepada mereka. Bila tidak ada nahi mungkar, mereka akan bebas berbuat kemungkaran, baik kesyirikan , kebid’ahan, maupun kemaksiatan, sebab tidak ada yang melarang mereka.
Maka kami wasiatkan kepada setiap orang yang masih memiliki semangat menjalankan agamanya, hendaknya mereka memperhatikan asas ini serta menerapkannya, tentu diharuskan berbekal ilmu syar’i terlebih dahulu. Hendaknya kita tidak hanya beramar ma’ruf saja, namun kemudian meninggalkan nahi mungkar dengan alasan yang dibuat-buat, semisal takut akan membuat umat lari, perpecahan, pertikaian, dan sebagainya.
Hendaknya pula berbekal dengan ilmu syar’i sebelum melakukannya. Janganlah seperti orang yang tidak tahu jalan tetapi memberanikan diri menunjukkan jalan kepada orang lain, sehingga menyesatkannya. Tidak mungkin orang yang tidak tahu dapat memberi tahu orang lain.
Inilah kasih sayang manhaj salaf, mereka menunjukkan umat kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran, dan itu semua dilandasi dengan ilmu. Mereka tidak rela melihat saudara mereka terjerumus ke dalam kebinasaan,
ما من رجلٍ يكون في قومٍ يعمل فيهم بالمعاصي يقدرون على أن يغيروا عليه فلا يغيروا إلا أصابهم اللّه بعذابٍ من قبل أن يموتوا
“Tidaklah seseorang berada di tengah kaum yang melakukan kemaksiatan, di mana mereka mampu untuk merubah kemaksiatan tersebut, namun tidak mau merubahnya, kecuali pasti Allah akan menimpakan adzab kepada mereka sebelum mereka mati.” (HR. Abu Daud, kitab Al Malahim. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Sunan Abu Daud 3/819 no. 4339)
Keenam, Kasih Sayang Mereka Terhadap Ahlu Bid’ah.
Sebagian kalangan menganggap bahwa bantahan dan nasehat salafiyyun kepada para pelaku kebid’ahan dan kesesatan merupakan bentuk kekerasan, kebiadaban, serta merasa paling benar sendiri.
Padahal demi Allah tidaklah demikian. Bantahan mereka terhadap ahlul bid’ah merupakan wujud kasih sayang, dengan beberapa alasan :
- Agar mereka mau bertaubat, sehingga tidak mati dalam keadaan membawa dosa bid’ah yang membinasakan.
- Agar manusia mengetahui kebid’ahan mereka dan menjauhinya, sehingga jumlah orang yang mengikuti mereka di dalam kesesatan dapat terminimalisir. Karena bila tidak, maka akan bertambah banyak dosa mereka. Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من دعا إلى ضلالة، كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه، لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia memikul dosa semisal dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim 2674, Abu Daud 4609, At Tirmidzi 2676, Ibnu Majah 206)
Bahkan di dalam bantahan ahlus sunnah terhadap ahlul bid’ah sebenarnya terdapat kasih sayang terhadap seluruh kaum muslimin, agar mereka tidak mengikuti ahlul bid’ah dalam kesesatan. (Kasyfusy Syubuhat Al ‘Ashriyah hal. 102-103, dengan perubahan)
Ketujuh, Kasih Sayang Mereka Terhadap Waliyyul Amr.
Wujud kasih sayang salafiyyun kepada waliyyul amr (penguasa atau pemerintah) adalah ketaatan mereka terhadap penguasa, baik ia seorang yang adil maupun lalim, serta mendo’akan kebaikan bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Imam Ahmad berkata, “(Diantara pokok-pokok sunnah ialah) mendengar dan taat kepada para pemimpin dan amirul mukminin baik ia seorang yang baik maupun lalim.” (Ushulus Sunnah hal. 64)
Berkata Imam Abu Utsman Ash Shobuni, “Ahlussunnah menganjurkan untuk mendoakan penguasa agar mereka mampu melakukan perbaikan, mendapatkan taufiq dari Allah, kesholihan, serta menebarkan keadilan kepada rakyat.” (Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits hal. 106)
Mereka tidak mencabut ketaatan terhadap penguasa meskipun ia seorang yang lalim, karena seratus tahun dipimpin oleh penguasa yang lalim lebih baik daripada satu hari tanpa penguasa. Bila tidak ada penguasa, manusia akan berbuat seenaknya, saling menjatuhkan satu sama lain, saling memakan harta satu sama lain secara zholim, saling membunuh, saling berebut kekuasaan. Maka kerusakan yang diakibatkan sehari tanpa pemimpin, itu lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan seratus tahun dipimpin oleh seorang yang lalim.
Mereka tidak mencabut ketaatan selama pemimpin masih menegakkan sholat. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
)يكون أمراء تشمئز منهم القلوب وتقشعر منهم الجلود (فقال رجل : أفلا نقاتلهُمْ؟ قال) : لا ما أَقَاموا الصَّلاةَ(
“Akan ada para pemimpin yang membuat hati takut, membuat bulu kulit merinding[1].” Seseorang bertanya,”Apakah kami boleh memerangi mereka?” Beliau menjawab : “Tidak boleh, selama mereka masih menegakkan sholat.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah 1077. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani tatkala mengomentari hadits tersebut)
Mereka tidak mencabut ketaatan kecuali bila melihat kekufuran yang jelas dari pemimpin, serta memiliki kemampuan untuk mencabut kekuasaan. Ubadah bin Shomit mengatakan,
دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه. فكان فيما أخذ علينا، أن بايعنا على السمع والطاعة، في منشطنا ومكرهنا، وعسرنا ويسرنا، وأثرة علينا. وأن لا ننازع الأمر أهله. قال (إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, kemudian kami membaiat (mengucapkan janji setia) kepada beliau. Di antara isi baiat yang Beliau perintahkan kepada kami ialah : ‘Kami berbaiat untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin), baik di saat susah maupun senang, di saat sempit maupun lapang, meskipun pemimpin menahan hak kami[2]. Dan kami tidak boleh menggugat kekuasaan (berontak), Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas, dimana kalian memiliki bukti yang nyata di sisi Allah”.” (HR. BukhoriKitabul Fitan/6 no. 6647, Muslim Kitabul Imaroh/42 no. 1709)
Bila melihat kekufuran yang jelas pada diri penguasa, namun tidak memiliki kemampuan untuk mencabut kekuasaan, maka tidak boleh memberontak, terlebih lagi bila dengan pemberontakan itu malah mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata, “Akan tetapi dengan syarat kita harus memiliki kemampuan. Bila kita tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak.” (Syarh Riyadhush Sholihin 4/515)
Ahlus sunnah juga memandang diharamkannya mengumbar kesalahan pemimpin di depan umum, baik di atas mimbar, podium, media massa, terlebih lagi dengan demonstrasi, karena hal itu akan menyebabkan tidak dihargai dan ditaatinya pemimpin. Bila pemimpin sudah tidak dihargai dan ditaati, maka kerusakan yang terjadi tidak dapat dibayangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أهان سلطان الله في الدُّنْيَا أهانه الله يَوْم الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menghinakan pemimpin yang Allah pilih di dunia, maka Allah akan membuat dia terhina pada hari kiamat.” (HR. At Tirmidzi Al Fitan no. 2325, Ahmad 5/42,49. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 2297)
Bila pemimpin memerintahkan kemaksiatan, maka tidak boleh ditaati dalam hal ini, karena tidak diperbolehkan ketaatan dalam hal maksiat. Namun tetap tidak boleh menggugat kekuasaan kecuali bila melihat kekufuran yang jelas, sebagaimana diterangkan pada hadits di muka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“Bila (seorang muslim) diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhori Kitabul Ahkam 6725, Muslim Kitabul Imaroh 1839)
Kedelapan, Tidak Serampangan dalam Menuduh Orang Lain dengan Kekafiran.
Diantara kasih sayang manhaj salaf ialah kehati-hatian mereka dalam menuduh orang lain dengan tuduhan “kafir”. Mereka tidak tergesa-gesa menvonis orang yang berbuat kekufuran dengan vonis “kamu telah kafir” sebelum terpenuhi syarat-syarat serta hilangnya penghalang-penghalang vonis tersebut. Mereka takut kepada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا يرمي رجل رجلاً بالفسوق، ولا يرميه بالكفر، إلا ارتدت عليه، إن لم يكن صاحبه كذلك
“Tidaklah seseorang menuduh saudaranya dengan tuduhan ‘fasik’ atau ‘kafir’, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya bila saudaranya tidak seperti yang ia tuduhkan.” (HR. Bukhori Kitabul Adab bab 44 no. 5698, Ahmad 5/181)
Para ulama’ salaf sangat berhati-hati dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan dusta bahwa beliau mudah mengkafirkan, serta tuduhan bahwa beliau mengkafirkan orang yang tidak mau bergabung dan berperang bersama beliau, dengan perkataanya, “Bila kami tidak mengkafirkan para penyembah berhala yang ada di kuburan Abdul Qodir, Ahmad Badawi, dan yang semisalnya, dikarenakan kebodohan mereka dan tidak adanya orang yang menegur mereka; maka bagaimana mungkin kami mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah hanya karena ia tidak mau ikut-ikut mengkafirkan dan berperang (bersama kami)??! Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang keji.” (Ad Duror As Saniyah 1/104)
Ahlus sunnah meyakini bahwa hanya para ulama’-lah yang berhak dalam urusan mengkafirkan seorang muslim yang melakukan kufur akbar (besar). Hal ini ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama, dalam masalah kufur dan iman, pembahasannya adalah mengenai ada dan tidaknya ashlul iman (pokok penentu ada tidaknya iman itu sendiri), dan masalah keimanan ini adalah masalah ushul. Sedangkan dalam masalah halal dan haram, pembahasannya adalah mengenai cabang-cabang dan bagian-bagian iman, serta ibadah-ibadah yang dihukumi sah tidaknya dengan acuan ada tidaknya ashlul iman, dan ini merupakan masalah furu’ (cabang). Apabila dalam masalah furu’ yang berhak terjun (ijtihad) di dalamnya hanyalah para ulama’, maka bagaimana lagi dalam masalah ushul? Tentu hanya mereka yang berhak.
Kedua, Pengkafiran seorang muslim menghantarkan kepada perkara-perkara besar dalam masalah hukum, seperti keyakinan bahwa orang yang divonis kafir tersebut telah murtad (keluar dari islam), wajibnya dia untuk dibunuh, jatuhnya hak kewaliannya, haramnya untuk menikah dengannya dan memakan sembelihannya, larangan untuk waris-mewarisi, larangan mensholati jenazahnya, larangan mendo’akan rahmat dan ampunan untuknya, serta anggapan bahwa bila ia mati –dalam keadaan belum bertaubat- maka Allah tidak akan mengampuninya dan ia kekal selamanya di neraka, tidak bermanfaat baginya do’a dan syafa’at. Maka kesalahan dalam masalah pengkafiran akibatnya lebih berbahaya daripada kesalahan dalam masalah furu’ lainnya, serta akan mengakibatkan mafsadah-mafsadah yang sangat banyak. Karena itulah, lebih berhak untuk kita katakan bahwa masalah pengkafiran hanyalah para ulama’ yang berhak terjun di dalamnya.
Ketiga, Masalah pengkafiran termasuk masalah besar yang rumit bagi kebanyakan manusia, bahkan bagi sebagian ulama’. Ini disebabkan karena sebagian mereka salah dengan tidak membedakan antara pengkafiran secara mutlak dan secara ta’yin (kepada orang tertentu). Serta sebab-sebab lain yang sangat rumit dalam masalah ini (At Takfir wa Dhowabithuhu hal. 300-301 –dengan sedikit perubahan)
Keempat, Dalam masalah pengkafiran, harus diketahui terlebih dahulu apakah perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim tersebut termasuk kufur akbar (besar) yang dapat mengeluarkannya dari Islam ataukah tidak. Dan masalah ini tidak diketahui pula oleh kebanyakan manusia.
Kelima, Harus diketahui syarat-syarat yang harus dipenuhi serta hilangnya penghalang-penghalang dalam masalah pengkafiran. Sedangkan pada setiap orang, bisa jadi penghalangnya berbeda-beda, dan ini merupakan masalah yang sangat rumit dimana hanya para ulma’-lah yang berhak berijtihad di dalamnya. (Tahdzib Tas-hil al Aqidah al Islamiyahhal. 103 –dengan sedikit perubahan)
Kesimpulannya, masalah mengkafirkan seorang muslim pelaku kufur akbar adalah masalah besar yang tidak boleh terjun di dalamnya kecuai para ulama’ yang telah kokoh ilmunya.
Kesembilan, Kasih Sayang Mereka Terhadap Para Sahabat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan di antara pokok ahlus sunnah wal jama’ah ialah selamatnya hati dan lisan mereka dari (menjelekkan) para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana Allah mensifati mereka (ahlus sunnah) dalam firmannya,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Al Hasyr : 10)
Dan mereka mentaati sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا تسبوا أصحابي. لا تسبوا أصحابي. فوالذي نفسي بيده! لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ما أدرك مد أحدهم، ولا نصيفه
“Janganlah kalian mencela sahabatku, janganlah kalian mencela sahabatku. Demi Dzat Yang jiwaku ada ditangan-Nya! Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka tidak akan dapat menyamai infaq satu atau setengah mud[3] dari mereka.”[4] (Al ‘Aqidah Al Wasithiyah hal. 32)
Kesepuluh, Kasih Sayang Mereka Kepada Ahlu Bait.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan mereka (ahlus sunnah) mencintai ahlul bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengasihi mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka, dimana Beliau bersabda pada hari Ghodir Khum[5] :
أذكركم الله في أهل بيتي
“Aku ingatkan kalian akan perintah Allah untuk berbuat baik terhadap ahlu bait-ku.”[6] (Al Aqidah Al Wasithiyah hal. 34)
Beliau menambahkan, “Dan mereka (ahlus sunnah) mencintai istri-istri Rasulullah, yaitu para ibunda kaum yang beriman. Dan ahlus sunnah meyakini bahwa mereka adalah para istri Rasulullah di akherat kelak.” (Al Aqidah Al Wasithiyah hal. 34)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata,“Di antara pokok-pokok (aqidah) ahlus sunnah wal jama’ah ialah mereka mencintai ahlul bait Rasulullah, cinta karena dua hal : keimanan (ahlul bait)[7] dan kekerabatan mereka dengan Rasulullah. Ahlus sunnah tidak membenci mereka selamanya.” (Syarh Al’Aqidah Al Wasithiyyah hal.608)
Kesebelas, Kasih Sayang Mereka Kepada Para Ulama’ Ahlus Sunnah.
Salafiyyun mencintai para ulama’ ahlus sunnah baik dari kalangan pendahulu maupun belakangan. Mereka mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang tua kalangan kami (Islam), tidak menyayangi anak kecil, serta tidak mengetahui hak-hak ulama’ kami (Islam).” (HR. Ahmad dan selainnya. Dihasankan oleh Al Mundziri, juga Al Albani dalam Shohih At Targhib wat Tarhib 95)
Imam Ath Thohawi berkata, “Dan para ulama’ salaf dari kalangan terdahulu, dan orang-orang setelah mereka yang mengikuti mereka dengan baik –yaitu ahlul khoir dan atsar, ahli fiqih dan nazhor- maka mereka semua tidak boleh disebut kecuali dengan pujian. Barangsiapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka ia tidak berada di atas jalan yang lurus.” (Al Aqidah Ath Thohawiyah hal. 30)
Keduabelas, Kasih Sayang Mereka Terhadap Manusia Secara Umum.
Mereka menyeru manusia kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan, menunjukkan kepada mereka agama yang lurus, menjelaskan jalan-jalan kebatilan agar manusia menghindar dan waspada. Itu semua diiringi dengan cara yang baik lagi lemah lembut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه. ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan berada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan merusaknya.” (HR. Muslim 2594)
Meskipun terkadang sikap keras dalam mengingkari kemungkaran itu perlu, setelah menimbang antara mashlahat dan madhorot yang ada. Rasulullah pun pernah bersikap keras tatkala melihat seorang sahabatnya (laki-laki) yang memakai cincin emas, Beliau melepas cincin tersebut dan membuangnya[8]. Dan masih banyak lagi hadits yang menunjukkan hal itu. Namun yang perlu diingat, sikap dakwah secara asal adalah dengan lemah lembut, dan semua harus dilandasi dengan pertimbangan antara mashlahat dan madhorot yang matang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ahlus sunnah ialah orang-orang yang paling tahu akan kebenaran lagi paling sayang terhadap makhluk.” (Minhajus Sunnah 5/158)
Syaikh Al Albani berkata, “Orang yang paling berhak kita gunakan sikap hikmah ini kepadanya adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap kita, baik pada dasar-dasar (dakwah) kita ataupun menyelisihi aqidah kita. Sehingga kita tidak menggabungkan beratnya dakwah yang benar –yang telah Allah karuniakan kepada kita- dengan beratnya metode yang buruk dalam berdakwah kepada Allah. Oleh karenanya saya mengharap kepada semua ikhwah di seluruh negeri Islam agar mereka beradab dengan adab-adab Islami ini, kemudian mereka mengharapkan wajah Allah tatkala mengamalkan adab-adab ini, tidak mengharap balas jasa atau ucapan terima kasih.” (Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan, hal. 260-261)
Inilah di antara pokok dan ciri manhaj salaf yang dapat kami kumpulkan. Sebagai penutup, kami nukilkan ucapan emas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, mengikuti dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf tersebut. Bahkan wajib menerima hal itu darinya. Karena sesungguhnya madzhab salaf tidaklah ia kecuali kebenaran.” (Majmu’ Al Fatawa 4/149)
Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang bangga dengan manhaj salaf, serta menjadikan kita pengikut para salafush sholih yang sebenarnya. Amin…
– Selesai -
Penulis: Ustadz Muhammad bin Badr Al Umari
Kata Pengantar: Ustadz Arif Fathul Ulum (Pengasuh Majalah Al Furqon Gresik)
Artikel www.muslim.or.id
Maroji’ :
- Al Qur’anul Karim
- Kitab-kitab hadits : Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu majah, Sunan An Nasa’i, Musnad Ahmad, dan lainnya.
- ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits, Imam Abu Utsman Ash Shobuni (wafat 449H). Tahqiq : Syaikh Badr bin Abdillah Al Badr. Maktabah Al Ghuroba’ Al Atsariyah, Madinah An Nabawiyah.
- Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 721H), Cet. 1 Dar Ibnul Atsir, Riyadh, KSA.
- Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Imam Abu Ja’far Ath Thohawi (wafat 321H), Cet. 1 Muassasah Ar Resalah, Beirut, Lebanon.
- Al I’tishom, Imam Asy Syathibi, Darul Kutub, Beirut, Lebanon.
- Al Mulakh-khosh fi Syarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan, Darul ‘Ashimah.
- Al Wajiz fi ‘Aqidatis Salafish Sholih, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari, Cet. 2, Dar Ar Royah, Riyadh, KSA.
- At Takfir wa Dhowabithuhu, Syaikh Prof. Dr. Ibrohim bin ‘Amir ar Ruhaili. Cet 2, 1428 H, Darul Imam Ahmad, Kairo.
10. Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarhi Marwiyat Manhajis Salaf, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Cet. 2, Maktabah Al Furqon.
11. Haqiqoh Al Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar, Syaikh Dr. Hamd bin Nashir Al ‘Ammar, Dar Isybiliya.
12. Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, Cet. 2, Dar Royah, Riyadh, KSA.
13. Kasyfusy Syubuhat Al ‘Ashriyyah ‘anid Da’wah Al Ishlahiyyah As Salafiyyah, Syaikh Abdul Aziz bin Royyis Ar Royyis, Cet. 1, Darul Imam Ahmad, Kairo.
14. Kun Salafiyyan ‘alal Jaadah, Syaikh Dr. Abdus Salam bin Salim As Suhaimi, Cet. 1 Darul Minhaj, Kairo.
15. Lammud Durril Mantsur, Syaikh Abu Abdillah Jamal Al Haritsi, Cet. 1, Darus Salaf, Riyadh, KSA.
16. Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan, Abu Abdil Muhsin Firanda ibnu Abidin. Pustaka Cahaya Islam, Bogor, Indonesia.
17. Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Cet. 1, Markaz Ad Dirosat Al Manhajiyah As Salafiyah.
18. Nashihatun lisy Syabab, Syaikh Prof. Dr. Ibrohim bin ‘Amir Ar Ruhaili.
19. Syarh Al’Aqidah Al Wasithiyyah (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il). Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Cet. 2 Dar Ats Tsurayya, Riyadh, KSA.
20. Syarh Riyadhush Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Cet. 1, Darul Wathon, KSA.
21. Syarhul ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan, Cet. Th. 1418 H, Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah, KSA.
22. Syarhul Arba’in An Nawawi, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul ‘Aqidah, Kairo.
23. Tahdzib Tas-hil al Aqidah al Islamiyah, Syaikh Prof. Dr. Abdulloh bin Abdul Aziz al Jibrin. Cet 1, 1425 H.
24. Taisirul Karimir Rohman (Tafsir As Sa’di), Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As Sa’di, Cet. 1, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon.
25. Ushulus Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal. Syarah dan tahqiq : Syaikh Al Walid Saifun Nashr. Cet. 1, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo.
[1] Maksudnya : dikarenakan kezholiman mereka.
[2] Al Atsaroh maknanya adalah sikap pemimpin yang memberikan hak hanya kepada sebagian pihak, namun melupakan pihak lain.
[3] Mud : takaran seukuran dua telapak tangan orang Arab yang disatukan.
[4] HR. Bukhori 3362, Muslim 2541.
[5] Ghodir Khum : Sebuah tempat kumpulan air yang Rasulullah singgahi sepulang dari Haji Wada’. Di tempat tersebut Beliau berkhutbah di hadapan para sahabat, di antara isinya adalah hadits di atas.
[6] HR. Muslim no. 2408.
[7] Adapun terhadap orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi, akan tetapi malah mengotori keimanannya dengan perbuatan syirik dan bid’ah, maka Ahlus sunnah berpaling darinya. Sebagaimana Allah telah menegaskan kepada Nabi Nuh -yang memohonkan keselamatan puteranya kepada Allah serta mengatakan bahwa ia termasuk keluarga Beliau- dengan firman-Nya,
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ. قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan’.” (QS. Hud : 45-46)
[8] HR. Muslim 2090.
Posting Komentar