Melihat Hilal |
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika kalian melihatnya (hilal bulan Romadhon) maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (hilal bulan Syawwal) maka berhari rayalah, akan tetapi jika ia (hilal) terhalang dari pandangan kalian maka kira-kirakanlah”, dalam riwayat lain “…maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Pembaca yang budiman, di dalam hadits yang mulia ini Rosululloh telah menjelaskan dengan gamblang bahwa cara menentukan awal masuknya bulan puasa dan juga tibanya hari raya idul fitri adalah dengan melihat hilal/bulan sabit. Apabila ternyata pada malam itu hilal Romadhon tidak bisa nampak karena langit diselimuti mendung atau asap maka bulan Sya’ban digenapkan hitungannya menjadi 30 hari, artinya esok hari esok masih belum boleh puasa.
Bagaimana Dengan Hisab ?
Adapun menentukan awal masuknya bulan puasa dengan hisab saja, Syaikh Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Adapun hanya menggunakan hisab maka hal itu tidak boleh dilakukan dan juga tidak boleh dijadikan pegangan.” (48 Pertanyaan tentang Shiyam, hlm. 27-28). Jadi pelaksanaan puasa di bulan Romadhon itu tergantung pada nampaknya hilal bagi kaum muslimin atau sebagian dari mereka, Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied menentang orang yang mengaitkan hukum tersebut dengan hisab ahli perbintangan/astronomi. Ash-Shon’ani menjelaskan bahwa seandainya penentuan awal romadhon bergantung pada hisab mereka niscaya hal itu tidak dipahami kecuali oleh segelintir orang, sedangkan aturan syari’at itu dibangun di atas prinsip bisa dipahami oleh banyak orang (Taisirul ‘Allaam, hlm. 356).
Berapa Orang yang Melihat ?
Masuknya bulan Romadhon ditetapkan setelah adanya kesaksian melihat hilal meskipun berasal dari seorang saja asalkan terpercaya. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu orang-orang berusaha melihat hilal, kemudian aku kabarkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kalau aku benar-benar telah melihatnya, maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa sebagaimana beliau.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan Al Albani dalam Al Irwa’ 908).
Mengapa Pakai Hisab ?
Sebagian orang menafsirkan sabda Nabi “…maka kira-kirakanlah” di atas artinya boleh menggunakan ilmu hisab perbintangan. Akan tetapi penafsiran seperti ini bertentangan dengan hadits. Sebab dalam riwayat lain dijelaskan bahwa jika hilal tidak nampak maka hendaknya Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Inilah yang dimaksud dengan mengira-ngirakan, sebab hadits itu saling memperjelas satu dengan yang lainnya. Imam Ash Shon’ani mengatakan: Jumhur/mayoritas ahli fiqih dan ahli hadits berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan ‘kira-kirakanlah’ adalah dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana ditafsirkan oleh riwayat yang lain (Taisirul ‘Allaam, hlm. 357).
Sederhana Dengan Sunnah Lebih Baik
Sunnah/ajaran Nabi sudah jelas dan apa yang bukan ajaran Nabi juga sudah nampak. Apakah kita merasa berat untuk melaksanakannya? Bukankah Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu mengatakan, “Bersikap sederhana di atas Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh tapi di atas bid’ah”. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Sekali-kali tidak, demi Robbmu, pada hakekatnya mereka belum beriman sampai mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak menaruh rasa berat pada diri mereka terhadap apa yang sudah kamu putuskan dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Pembaca yang budiman, di dalam hadits yang mulia ini Rosululloh telah menjelaskan dengan gamblang bahwa cara menentukan awal masuknya bulan puasa dan juga tibanya hari raya idul fitri adalah dengan melihat hilal/bulan sabit. Apabila ternyata pada malam itu hilal Romadhon tidak bisa nampak karena langit diselimuti mendung atau asap maka bulan Sya’ban digenapkan hitungannya menjadi 30 hari, artinya esok hari esok masih belum boleh puasa.
Bagaimana Dengan Hisab ?
Adapun menentukan awal masuknya bulan puasa dengan hisab saja, Syaikh Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Adapun hanya menggunakan hisab maka hal itu tidak boleh dilakukan dan juga tidak boleh dijadikan pegangan.” (48 Pertanyaan tentang Shiyam, hlm. 27-28). Jadi pelaksanaan puasa di bulan Romadhon itu tergantung pada nampaknya hilal bagi kaum muslimin atau sebagian dari mereka, Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied menentang orang yang mengaitkan hukum tersebut dengan hisab ahli perbintangan/astronomi. Ash-Shon’ani menjelaskan bahwa seandainya penentuan awal romadhon bergantung pada hisab mereka niscaya hal itu tidak dipahami kecuali oleh segelintir orang, sedangkan aturan syari’at itu dibangun di atas prinsip bisa dipahami oleh banyak orang (Taisirul ‘Allaam, hlm. 356).
Berapa Orang yang Melihat ?
Masuknya bulan Romadhon ditetapkan setelah adanya kesaksian melihat hilal meskipun berasal dari seorang saja asalkan terpercaya. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu orang-orang berusaha melihat hilal, kemudian aku kabarkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kalau aku benar-benar telah melihatnya, maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa sebagaimana beliau.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan Al Albani dalam Al Irwa’ 908).
Mengapa Pakai Hisab ?
Sebagian orang menafsirkan sabda Nabi “…maka kira-kirakanlah” di atas artinya boleh menggunakan ilmu hisab perbintangan. Akan tetapi penafsiran seperti ini bertentangan dengan hadits. Sebab dalam riwayat lain dijelaskan bahwa jika hilal tidak nampak maka hendaknya Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Inilah yang dimaksud dengan mengira-ngirakan, sebab hadits itu saling memperjelas satu dengan yang lainnya. Imam Ash Shon’ani mengatakan: Jumhur/mayoritas ahli fiqih dan ahli hadits berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan ‘kira-kirakanlah’ adalah dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana ditafsirkan oleh riwayat yang lain (Taisirul ‘Allaam, hlm. 357).
Sederhana Dengan Sunnah Lebih Baik
Sunnah/ajaran Nabi sudah jelas dan apa yang bukan ajaran Nabi juga sudah nampak. Apakah kita merasa berat untuk melaksanakannya? Bukankah Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu mengatakan, “Bersikap sederhana di atas Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh tapi di atas bid’ah”. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Sekali-kali tidak, demi Robbmu, pada hakekatnya mereka belum beriman sampai mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak menaruh rasa berat pada diri mereka terhadap apa yang sudah kamu putuskan dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Posting Komentar