Wasiat salafush shålih untuk meninggalkan debat kusir

Diposting oleh Abu Najih on 8 September 2011

Debat Kusir

1. Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam

    “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”

    (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)

2. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:

    “Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.”

    [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]

3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa

    “Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.”

    [al-Fakihi dalam Akhbar Makkah]

4. Abud Darda radhiyallahu ‘anhu

    “Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam dzikir tentang Allah.”

    [Darimi: 299]

5. Muslim Ibn Yasar rahimahullah

    “Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”

    [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404]

6. Hasan Bashri rahimahullah

Ada orang datang kepada Hasan Bashri rahimahullah lalu berkata,

    “Wahai Abu Sa’id kemarilah, agar aku bisa mendebatmu dalam agama!”

Maka Hasan Bashri rahimahullah berkata:

    “Adapun aku maka aku telah memahami agamaku, jika engkau telah menyesatkan (menyia-nyiakan) agamamu maka carilah.”

[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 588]

7. Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah

    “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak berpindah-pindah (agama).”

    [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565]

8. Abdul Karim al-Jazari rahimahulah

    “Seorang yang wira’i1 tidak akan pernah mendebat sama sekali.”

    [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 636; Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]

9. Ja’far ibn Muhammad rahimahullah

    “Jauhilah oleh kalian pertengkaran dalam agama, karena ia menyibukkan (mengacaukan) hati dan mewariskan kemunafikan.”

    [Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]

10. Mu’awwiyah ibn Qurrah rahimahullah

    “Dulu dikatakan: pertikaian dalam agama itu melebur amal.”

    [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 562]

11. al Auza’i rahimahullah

    “Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum maka Allah menetapkan jidal pada diri mereka dan menghalangi mereka dari amal.”

    [Siyar al-A’lam 16/104; Tadzkiratul Huffazh: 3/924; Tarikh Dimsyq: 35/202]

12. Imran al-Qashir rahimahullah

    “Jauhi oleh kalian perdebatan dan permusuhan, jauhi oleh kalian orang-orang yang mengatakan: Bagaimana menurutmu, bagaimana pendapatmu.”

    [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 639]

13. Muhammad ibn Ali ibn Husain rahimahullah

    “Pertikaian itu menghapuskan agama dan menumbuhkan permusuhan di hati orang-orang.”

    [al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]

14. Abdullah ibn Hasan ibn Husain rahimahullah

Dikatakan kepada Abdullah ibn al Hasan ibn al Husain rahimahullah,

    “Apa pendapatmu tentang perdebatan (mira’)?”

Dia menjawab:

    “Merusak persahabatan yang lama dan mengurai ikatan yang kuat. Minimal ia akan menjadi sarana untuk menang-menangan itu adalah sebab pemutus talit silaturrahim yang paling kuat.”

    [Tarikh Dimasyq: 27-380]

15. Bilal ibn Sa’d rahimahullah (kedudukannya di Syam sama dengan Hasan Bashri di Bashrah)

    “Jika kamu melihat seseorang terus-terusan menentang dan mendebat maka sempurnalah kerugiannya.”

    [al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]

16. Wahab ibnu Munabbih rahimahullah

    “Tinggalkanlah jidal dari perkaramu, karena ia tidak akan dapat mengalahkan salah satu dari dua orang: seseorang yang lebih alim darimu, bagaimana engkau memusuhi dan mendebat orang yang lebih alim darimu? Dan seseorang yang engkau lebih alim daripadanya, bagaimana engkau memusuhi orang yang engkau lebih alim daripadanya dan ia tidak mentaatimu? Maka tinggalkanlah itu.”

    [Tahdzibul Kamal: 31/148; Siyarul A’lam: 4/549; Tarikh Dimasyq: 63/388]

17. Malik ibnu Anas rahimahullah

Ma’n rahimahullah berkata:

    “Pada suatu hari Imam Malik ibn Anas berangkat ke masjid sambil berpegangan pada tangan saya, lalu beliau dikejar oleh seseorang yang dipanggil dengan Abu al-Juwairah yang dituduh memiliki Aqidah Murji’ah.”

    Dia berkata:

        ‘Wahai Abu Abdillah dengarkanlah dariku sesuatu yang ingin saya kabarkan kepada anda, saya ingin mendebat anda dan memberi tahu anda tentang pendapatku.’

    Imam Malik berkata,

        ‘Hati-hati, jangan sampai aku bersaksi atasmu.’

    Dia berkata,

        ‘Demi Allah, saya tidak menginginkan kecuali kebenaran. Dengarlah, jika memang benar maka ucapkan.’

    Imam Malik bertanya,

        ‘Jika engkau mengalahkan aku?’

    Dia menjawab,

        ‘Maka ikutlah aku!’

    Imam Malik bertanya lagi,

        ‘Kalau aku mengalahkanmu?’

    Dia menjawab,

        ‘Aku mengikutimu?’

    Imam Malik bertanya,

        ‘Jika datang orang ketiga lalu kita ajak bicara dan kita dikalahkannya?’

    Dia berkata,

        ‘Ya kita ikuti dia.’

    Imam Malik rahimahullah berkata:

        “Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah”.”

Imam Malik rahimahullah berkata:

    ”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”

Imam Malik rahimahullah berkata:

    “Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”

Imam Malik rahimahullah berkata:

    “Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,

    ”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.”

(Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)

18. Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah

“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.”

[Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]

19. Ahmad bin Hambal rahimahullah

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang,

    “Saya ada di sebuah majelis lalu disebutlah didalamnya sunnah yang tidak diketahui kecuali oleh saya, apakah saya mengatakan?”

Dia menjawab:

    “Beritakanlah sunnah itu, dan janganlah mendebat karenanya!”

Orang itu mengulangi pertanyaannya, maka Imam Ahmad rahimahullah berkata:

    “Aku tidak melihatmu kecuali seorang yang mendebat.”

    [al-Adab as-Syar’iyyah: 1/358, dalam bab menyebar sunnah dengan ucapan dan perbuatan tanpa perdebatan dan kekerasan; al-Bashirah fid-Da’wah Ilallah: 57]

20. Shafwan ibn Muhammad al-Mazini rahimahullah

Saat Shafwan rahimahullah melihat para pemuda berdebat di Masjid Jami’ maka ia mengibaskan tangannya sambil berkata:

    “Kalian adalah jarab2, kalian adalah jarab.” [Ibnu Battah: 597]

Dahulu dikatakan:

    “Janganlah engkau mendebat orang yang santun dan orang yang bodoh; orang yang santun mengalahkanmu, sedang orang yang bodoh menyakitimu.”

    [Al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]

“Ya Allah jauhkanlah kami dari jidal, dan anugerahkan pada kami istiqomah. Janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah engkau memberi hidayah pada kami.”

Aamiin.

Sumber: alqiyamah

Wasiat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Ali al-Yamani al-Wushobi al-Abdali

Wahai Penuntut ilmu, jika kamu membuka pintu debat bersama temanmu maka sungguh kamu telah membuka pintu penyakit fitnah buat dirimu. Apabila seseorang penuntut ilmu tidak menjauhkan diri darinya tentu akan mendapatkan marabahaya.

Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

    ما ضل قوم بعد هدى كا نوا عليه إلاأوتواالجدال : ثم قرأ : ماضربوه لك إلاجد لا بل هم قوم خصمون – رواه الترمذي عن أبي أمامة الباهلي –

    ِArtinya : “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan petunjuk kecuali Allah berikan kepada mereka ilmu debat. Kemudian beliau membaca : mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.”

    (HR Tirmidzi dari Abu Umamah al Bahily)

Saya masih teringat seorang teman ketika awal belajar di Madinah, mungkin kurang lebih dua puluh empat atau dua puluh lima tahun yang silam, dia terkenal banyak berdebat. Terkadang dia mulai berdebat dari setelah Isya’ sampai akhir malam. Ternyata pada akhirnya dia mendapatkan kegagalan, tidak menjaga waktu, tidak beristighfar, bertasbih, bertahlil, bangun malam, dan tidak melaksanakan bimbingan Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam.

Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bukanlah pendebat. Tatkala Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam pergi kerumah Fatimah dan Ali ketika beliau ingin membangunkan keduanya untuk sholat malam, beliau mengetuk pintu dan berkata :

    ”Tidaklah kalian bangun untuk melaksanakan sholat?”

‘Ali mengatakan :

    ”Sesungguhnya jiwa kami di Tangan Allah, Dia membangunkan sesuai kehendak-Nya.”

Beliau Sholallahu Alaihi Wa Sallam balik sambil memukul pahanya dan berkata :

    وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا

    ” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”

    (QS Al Kahfi :54 )

Rasulullah tidak mendebat Ali dan beliau menganggap bahwa apa yang dijawab Ali termasuk dari jidal (debat) dengan berdalilkan firman Allah :

    وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا

    ” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”

    (QS Al Kahfi :54 )

Wahai penuntut ilmu jauhilah dari perdebatan, karena hal yang demikian itu menyebabkan kemurkaan dan kebencian di dalam hati. Katakan kepada temanmu apa yang kamu ketahui, kalau temanmu mengatakan tidak, kembalikanlah permasalahannya kepada Syaikhmu, dan sekali lagi menjauhlah kamu dari perdebatan, Rasulullah bersabda :

    إذااختلفتم قي القران فقوموا – متفق عليه

    “Apabila kalian berselisih di dalam Al Qur’an maka tinggalkan tempat tempat itu.”

    (Muttafaqun Alaihi)

Apabila terjadi disuatu majelis perdebatan, satu menyatakan demikian yang lain menyatakan demikian, maka dengarkan sabda Rasulullah diatas dan janganlah kalian duduk ditempat itu dan jangan mencoba untuk membuka perdebatan. Berhati-hatilah kamu dari debat dan peliharalah waktumu, insya Allah kamu akan saling mencintai dan saling menyayangi.

[Disalin oleh Abu Aufa dari buku عشرون النصيحة الطالب العلم و الد ا عي إلى الله yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul ” 20 Mutiara Indah bagi penuntut Ilmu dan Da’i Ilallah“]

Maksud perkataan ‘ulama diatas

Syaikhul Islam berkata,

    “Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh

    - orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain)

    - atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti;

    - berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran,

    - serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.

Beliau melanjutkan,

    “Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.

    Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.”

Wallåhu ta’ala a’lamu bish shåwwab..

Catatan Kaki

    Wira’i artinya orang yang sangat menjaga diri dari hal-hal yang syubhat dan membatasi diri dari yang mubah. ↩
    Sejenis penyakit kulit ↩


Sumber : http://abuzuhriy.com

Posting Komentar