Pembatal-Pembatal Wudhu

Diposting oleh Abu Najih on 25 November 2011

Pembatal Wudhu

Berikut adalah beberapa pembatal wudhu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut
Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada firman AllahTa’ala,

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

Atau kembali dari tempat buang air (kakus).[1] Yang dimaksud dengan al ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah yang rendah yang luas.[2] Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk tempat buang air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini.[3]
Para ulama sepakat bahwa wudhu menjadi batal jika keluar kencing dan buang air besar dari jalan depan atau pun belakang.[4]
Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak) membatalkan wudhu adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,

فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.[5] Para ulama pun sepakat bahwa kentut termasuk pembatal wudhu.[6]
Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi
Apa yang dimaksud maniwadi dan madzi?
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[7]
Madzi dan wadi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk zat yang suci. Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.
Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang menyebabkan mandi termasuk pembatal wudhu.[8]
Madzi bisa membatalkan wudhu berdasarkan hadits tentang cerita ‘Ali bin Abi Tholib. ‘Ali mengatakan,

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».

“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya kemudian suruh ia berwudhu”.[9]
Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,

الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.

“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.[10]
Pembatal ketiga: Tidur Lelap (Dalam Keadaan Tidak Sadar)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam ini yang dianggap mazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats.
Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.
Di antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,

أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.

“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”[11]
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.[12]
Pembatal keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila. Ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran pada kondisi semacam ini tentu lebih parah dari tidur.[13]
Pembatal kelima: Memakan daging unta.
Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».

“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan  daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.[14]
Demikian pembahasan mengenai pembatal wudhu. Sebagian lainnya adalah pembatal wudhu yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Insya Allah sebagian lainnya yang dianggap sebagai pembatal wudhu akan kami kupas dalam artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] QS. Al Maidah: 6
[2] Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 2/244, Asy Syamilah
[3] Lihat Al Mugni, Ibnu Qudamah, Al Maqdisi, 1/195, Darul Fikri, Beirut.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/127, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[5] HR. Bukhari no. 135.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
[7] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
[9] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[10] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[11] HR. Muslim no. 376.
[12] HR. Muslim no. 376.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/133.
[14] HR. Muslim no. 360.
More aboutPembatal-Pembatal Wudhu

Berdusta Yang Dibolehkan

Diposting oleh Abu Najih


Berdusta Yang Dibolehkan
Semua orang mungkin sepakat kalau berdusta adalah salah satu perbuatan yang sangat tercela. Bukan hanya saja tercela dalam pandangan manusia, tapi juga tercela dalam pandangan Allah subhanahu wata’ala.
Hukum asal dari dusta itu sendiri adalah haram dan wajib untuk dijauhi. Pertanyaannya adalah apakah ada dusta yang dibolehkan dalam ajaran Islam ini? Tentunya ini sangat menarik untuk kita bahas dalam bulletin kita kali ini.
Selama ini yang kita tahu bahwa dusta adalah perbuatan yang sangat buruk dan tidak boleh dikerjakan atau hukumnya haram secara mutlak. Kemudian ada juga yang kebablasan menganggap bahwa dusta adalah perbuatan yang lumrah dikerjakan, apalagi di jaman sekarang ini, rasanya suatu yang mustahil dan aneh kalau ada orang yang tidak pernah berdusta dalam hidupnya. Dusta bagi mereka merupakan bagian dari kebiasaan hidup mereka, sehingga kita akan menemukan hampir di setiap tempat di situ ada dusta. Apakah di sekolah, di perkantoran, di dalam rumah tangga, di pasar-pasar dan banyak lagi tempat-tempat yang tidak mungkin kita sebutkan semuanya.
Orang tua berdusta, anak berdusta, atasan berdusta, bawahan berdusta, pembeli berdusta, pedagang apalag. Intinya hidup mereka dipenuhi dengan dusta. Seakan-akan perbuatan ini bukan perbuatan yang tercela atau berdosa bagi orang yang melakukannya.
Banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan tentang larangan atau haramnya berdusta, baik di dalam al-Qur'an maupun al-Hadits.
Dalil-dalil tentang Larangan Dusta
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. 17:36)
Dalam ayat lain, artinya,
"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir". (QS. 50:18)
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ayat-ayat di atas merupakan dalil-dalil yang mengharamkan dusta, terlebih lagi dusta atas nama Allah subhanahu wata’ala dan RasulNya, seperti mengatakan Allah subhanahu wata’ala berfirman begini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda begini, atau menafsirkan perkataan keduanya tanpa makna yang sebenarnya padahal keduanya tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Dan perbuatan semacam ini tergolong ke dalam perbuatan dosa besar (al-kabâir). Sebagaimana telah dijelaskan di dalam al-Qur'an, artinya, "Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguh nya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. 6:144)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia menyiapkan bangkunya di neraka". (Muttafaq 'alaih) 
Rasulullah bersabda, “Jauhkan lah oleh kalian perbuatan dusta, maka sesungguhnya dusta itu menunjukkan/mengantarkan ke jalan kemaksiatan dan sesungguhnya kemaksiatan itu menyeret ke dalam neraka." (Muttafaq'alaih)
Dusta di samping ia adalah perbuatan tercela dan diharamkan, juga merupakan bagian dari ciri-ciri orang-orang munafiq. Hal ini juga dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Ciri-ciri orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia dusta, dan apabila berjanji, ia mengingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat". (Muttafaq 'alaih).
Bohong yang Dibolehkan
Seorang muslim yang baik tentunya tahu bahwa semua perbuatan nya akan diminta pertanggungjawaban nya kelak di Mahkamah Allah subhanahu wata’ala yang Maha 'Adil. Maka ia terlihat begitu hati-hati dan penuh perhitungan dalam melakukan segala sesuatunya. Baik yang berupa ucapan maupun tindakan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. 17:36)
Ia sangat faham betul kalau dirinya selalu diawasi Allah subhanahu wata’ala, dan setiap amalnya selalu punya catatan dan nilai disisi-Nya. Sekecil apa pun amalan tersebut ia selalu memperhatikannya dan tidak sedikit pun ia remehkan. Ia selalu berusaha untuk jujur dan benar dalam segala perbuatan nya. Bahkan ia lebih memilih diam dari pada mengucapkan sesuatu yang tidak baik dan merugikan orang lain, berdusta misalnya. Sebagaimana ia tahu Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir". (QS. 50:18)
Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. 99:7-8)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah ia mengucapkan ucapan yang baik atau lebih baik ia diam". (Muttafaq'alaih)
Kendati demikian, kejujuran terkadang bisa menjadi sesuatu yang tidak dianjurkan dalam agama ini, ketika kejujuran tersebut ternyata jelas-jelas tidak membawa maslahat yang besar dan mulia, justru sebaliknya malah mendatangkan mudharat. Dalam hal ini, maka dusta menjadi dibolehkan dalam agama ini, bahkan terkadang ia menjadi wajib untuk dilakukan.
Tentunya ada syarat-syarat tertentu sehingga dusta menjadi dibolehkan bahkan dianjurkan. Intinya adalah bahwa, "Perkataan atau suatu ucapan merupakan sarana untuk mencapai maksud yang diinginkan.” Maka setiap maksud yang terpuji memungkinkan/dapat diraih atau dicapai dengan tanpa berdusta/berbohong, maka berdusta pada saat itu hukumnya haram. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan kecuali hanya dengan berdusta, maka dusta pada kondisi seperti ini dibolehkan".(lihat di kitab al-Adzkar, al-Imam an-Nawawi).
Bahkan para ulama menjelaskan seputar hukum tentang dibolehkannya berdusta dengan syarat-syarat sebagaimana di atas, kalau maksud yang dicapai adalah sesuatu yang mubah, maka dusta saat itu dihukumi mubah. Sedangkan jika maksud yang akan dicapai adalah sesuatu yang wajib maka dusta saat itupun menjadi wajib hukumnya. Contoh kasus, seseorang yang bersembunyi dari orang yang zhalim yang ingin membunuhnya, atau mau merampas hartanya. Lalu saat itu ada si fulan yang tahu dan ditanya tentang keberadaannya dan keberadaan harta tersebut. Maka wajib baginya berdusta demi menyelamatkan orang yang akan dianiaya tersebut dengan mengatakan tidak tahu atau menunjuk kan tempat lain. Karena menyelamatkan orang yang tidak bersalah (orang baik) dari kezhalimaan hukumnya adalah wajib. Sebagaimana kaidah "Apa yang tidak menyempurnakan sesuatu yang wajib kecuali dengannya, maka ia adalah wajib". Tetapi sebagian ulama berpendapat (di antaranya: al-Imam an-Nawawi rahimahullah, syaikh Ibnu Utsaimin hafizhahullah) bahwa sikap yang lebih hati-hati dan lebih utama dalam hal ini adalah melakukan 'Tauriyah', maksudnya adalah mengungkapkan suatu maksud yang benar dan tidak berdusta jika disandarkan kepada maksudnya tersebut (maksud dari ucapannya) walaupun ia berdusta dalam sisi zhahir lafadznya jika disandarkan kepada apa yang dipahami dan diminta oleh lawan bicaranya. Walaupun meninggalkan tauriyah dan tetap dengan ungkapan yang dusta tidak diharamkan dalam kondisi seperti ini. Contohnya: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membonceng Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu di atas kendaraan beliau, maka jika ada seseorang yang bertanya kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah perjalanan, beliau mengatakan, "Ini adalah seorang penunjuk jalanku”. Maka orang yang bertanya tersebut mengira bahwa jalan yang dimaksud adalah makna haqiqi, padahal yang dimaksud oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah jalan kebaikan (sabîlul khair)”. Semata-mata demi kemaslahatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari ancaman musuh-musuh beliau.” (HR. al-Bukhari)
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah dikatakan pendusta orang yang mendamaikan manusia (yang berseteru), melainkan apa yang dikata kan adalah kebaikan". (Muttafaq 'Alaih)
Imam Muslim menambahkan dalam suatu riwayat, berkata Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha, "Aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah pada apa yang diucapkan oleh manusia (berdusta) kecuali dalam tiga perkara, yakni: perang, mendamaikan perseteruan/perselisihan di antara manusia, dan ucapan suami kepada istrinya, atau sebaliknya". 
Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita, Wallahua'lam bish-shawab. 
More aboutBerdusta Yang Dibolehkan

Hukum Menyemir Rambut

Diposting oleh Abu Najih on 24 November 2011

Hukum Menyemir Rambut


Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma'in.
Setelah kita mengetahui hukum mencabut uban, berikut ini adalah pembahasan mengenai menyemir uban dan menyemir rambut secara umum. Semoga Allah memudahkan kami untuk menjelaskan hal ini dan semoga para pembaca dimudahkan untuk memahaminya.

Ubahlah Uban Untuk Menyelisihi Ahli Kitab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memerintahkan kita untuk menyelisihi ahli kitab di antaranya adalah dalam masalah uban
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)
Manakah yang lebih utama antara membiarkan uban ataukah mewarnainya?
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Para ulama salaf yakni sahabat dan tabi’in berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai larangan mengubah uban [Namun hadits yang menyebutkan larangan ini adalah hadits yang mungkar atau dho’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah]. 
... Sebagian mereka berpendapat pula bahwa lebih utama merubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga di antara mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini. ” (Nailul Author, 1/144, Asy Syamilah).

Jadi dapat kita katakan bahwa mewarnai uban lebih utama daripada tidak mewarnainya berdasarkan pendapat sebagian ulama. Adapun pendapat yang mengatakan lebih utama membiarkan uban daripada mewarnainya, maka ini adalah pendapat yang lemah karena dibangun di atas hadits yang lemah.

Ubahlah Uban dengan Pacar dan Inai

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits inishahih)
Hal ini menunjukkan bahwa menyemir uban dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai) adalah yang paling baik. Namun boleh juga menyemir uban dengan selain keduanya yaitu dengan al wars (biji yang dapat menghasilkan warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron. Sebagaimana sebagian sahabat ada yang menyemir uban mereka dengan kedua pewarna yang terakhir ini. 
Abu Malik Asy-ja’iy dari ayahnya, beliau berkata,

كَانَ خِضَابُنَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ
“Dulu kami menyemir uban kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wars dan za’faron”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar. Periwayatnya adalah periwayat kitab shahih selain Bakr bin ‘Isa, namun dia adalah tsiqoh –terpercaya-. Lihat Majma’ Az Zawa’id
Al Hakam bin ‘Amr mengatakan,

دَخَلْتُ أَنَا وَأَخِي رَافِعٌ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ ، وَأَنَا مَخْضُوبٌ بِالْحِنَّاءِ ، وَأَخِي مَخْضُوبٌ بِالصُّفْرَةِ ، فَقَال عُمَرُ : هَذَا خِضَابُ الإِْسْلاَمِ . وَقَال لأَِخِي رَافِعٍ : هَذَا خِضَابُ الإِْيمَانِ
“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku sendiri menyemir ubanku denganhinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh (yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad. Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya. Namun periwayat lainnya adalah periwayat yang tsiqoh. LihatMajma’ Az Zawa’id)

Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”. 
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkanmenyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”Inilah pendapat dalam madzhab kami.”

Adapun ancaman bagi orang yang merubahnya dengan warna hitam disebutkan dalam hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih). Karena dikatakan tidak akan mencium bau surga, maka perbuatan ini termasuk dosa besar. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 60/23, 234/27)
Sebenarnya jika menggunakan katm (inai) akan menghasilkan warna hitam, jadi sebaiknya katm tidak dipakai sendirian namun dicampur dengan hinaa’ (pacar), sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan. Lalu setelah itu digunakan untuk menyemir rambut. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 234/27)
Bolehkah menggunakan jenis pewarna lainnya –selain inai dan pacar, inai saja, za’faron dan wars- untuk mengubah uban semacam dengan pewarna sintetik? Jawabannya: boleh karena yang penting adalah tujuannya tercapai yaitu merubah warna uban selain dengan warna hitam. Sebagaimana keumuman hadits:
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Di sini menggunakan kata syaa-i’, bentuk nakiroh, yang menunjukkan mutlak (baca: umum). Namun kalau pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut, malah membentuk lapisan tersendiri di kulit rambut, maka pewarna semacam ini harus dihindari karena dapat menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut ketika berwudhu sehingga dapat menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a’lam.

Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?
Syaikh rahimahullah menjawab: 
Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam. 
Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?

Syaikh rahimahullah menjawab: 
Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)

Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?” 
Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampurhina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)

Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?” 
Syaikh rahimahullah menjawab: 
Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).

Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam: 
Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban. 
Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban. 
Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal . 
Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal.Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut. 
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka. 
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)

Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan, 
“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)

Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi. Kenapa kita katakan dijauhi? 
Jawabannya adalah karena mewarnai rambut yang semula hitam menjadi warna lain biasanya dilakukan dalam rangkatasyabbuh (meniru-niru) orang kafir atau pun meniru orang yang gemar berbuat maksiat (baca: orang fasik) semacam meniru para artis. Inilah yang biasa terjadi. Apalagi kita melihat bahwa orang yang bagus agamanya tidak pernah melakukan semacam ini (yakni memirang rambutnya). Jadi perbuatan semacam ini termasuk larangan karena rambut hitam sudahlah bagus dan tidak menunjukkan suatu yang jelek. Jadi tidak perlu diubah. Juga melakukan semacam ini termasuk dalam pemborosan harta.Wallahu a’lam bish showab.

Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. 
Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram. 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Tulisan kami di masa silam, 29 Rabi’ul Awwal 1430 H dan telah dimuroja'ah oleh guru kami (Ustadz Aris Munandar -semoga Allah selalu menjaga beliau-).
More aboutHukum Menyemir Rambut