Makan Daging Onta Membatalkan Wudhu |
Oleh :
Para ulama berbeda pendapat apakah makan daging onta dapat membatalkan wudlu. Jumhur ulama berpendapat tidak membatalkan wudlu.[1] Adapun Asy-Syaafi’iy dalam al-qaulul-qadiim[2], riwayat masyhurdari Ahmad[3], dan ahlul-hadits[4] berpendapat membatalkan wudlu.
Dalil Jumhur ‘Ulama yang Tidak Mewajibkan Wudlu :
1. Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ أَبُو عِمْرَانَ الرَّمْلِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: " كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ "، قَالَ أَبُو دَاوُد: هَذَا اخْتِصَارٌ مِنَ الْحَدِيثِ الْأَوَّلِ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Sahl Abu ‘Imraan Ar-Ramliy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Ayyaasy : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Abii Hamzah, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir, ia berkata : “Dua perkara yang terakhir dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah meninggalkan wudlu’ dari segala hal yang disentuh oleh api” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 192].
Dhahir hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat.[5]
Setelah membawakan hadits tersebut, Abu Daawud berkata : “Ini adalah ringkasan dari hadits pertama”.
Perkataan Abu Daaawud (tentang adanya peringkasan) disepakati oleh Ibnu Hibbaan (3/417). Adapun Abu Haatim berkata :
هذا حديث مضطرب المتن، إنما هو أن النبي صلى الله عليه وسلم أكل كتفا، ولم يتوضأ، كذا رواه الثقات، عن ابن المنكدر، عن جابر، ويحتمل أن يكون شعيب حدث به من حفظه، فوهم فيه
“Hadits ini matannya goncang. Hadits itu hanyalah menyatakan bahwa Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam makan paha kambing, dan beliau tidak berwudlu (setelahnya). Begitulah yang diriwayatkan para perawi tsiqaat dari Ibnul-Munkadir, dari Jaabir. Dan kemungkinan Syu’aib menceritakan hadits itu dari hapalannya, lalu ia keliru/ragu padanya” [Al-‘Ilal, 1/64].
Hadits pertama yang dimaksudkan oleh Abu Daawud adalah :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ الْخَثْعَمِيُّ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ قَرَّبْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُبْزًا وَلَحْمًا فَأَكَلَ ثُمَّ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ دَعَا بِفَضْلِ طَعَامِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Hasan Al-Khats’amiy : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj : Telah berkata Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Al-Munkadir, ia berkata : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah berkata : Aku pernah menyuguhkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamsepotong roti dan daging, lalu beliau memakannya. Kemudian beliau meminta air wudlu, lalu berwudlu dengannya. Kemudian meminta sisa makanan beliau (yang belum habis), lalu memakannya. Kemudian beliau berdiri shalat tanpa berwudlu kembali” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 191].
Riwayat ini shahih, para perawinya tsiqaat.
Para ulama juga mengkritik lafadh : ‘Dua perkara yang terakhir dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’, karena kuat dugaan bahwa Syu’aib bin Abi Hamzah membawakan hadits secara makna dan peringkasan dengan pemahamannya bahwa hadits itu menasakh hadits yang memerintahkan wudlu setelah makan makanan yang tersentuh api.[6] Padahal, hadits Jaabir ini hanyalah menyebutkan kejadian tertentu saja, dan yang disebutkannya adalah makan daging kambing (lihat catatan kaki no. 6).
Ibnu Hazm [Al-Muhallaa, 1/243], Ibnu Turkumaaniy [Al-Jauharun-Naqiy, 1/156], dan Ahmad Syaakir [tahqiq Sunan At-Tirmidziy, 1/122] rahimahumullah berpendapat lain. Mereka mengatakan orang yang berpendapat bahwa hadits yang dibawakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Ibnul-Munkadir merupakan peringkasan dari hadits lain yang lebih panjang, telah keliru. Namun perkataan mereka tidaklah bisa disejajarkan dengan para ulama naqd dan ta’liil mutaqaddimiin yang telah menegaskan bahwa lafadh Syu’aib bin Abi Hamzah merupakan peringkasan. Inilah yang lebih kuat. Wallaahu a’lam.
2. Atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنُ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: " ..... وَلا وُضُوءَ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ، وَلا وُضُوءَ مِمَّا دَخَلَ، إِنَّمَا الْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ مِنَ الإِنْسَانِ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’, bahwasannya ia mendengar Ibnu ‘Abbaas berkata : “.... Tidak ada wudlu dari apa-apa yang disentuh oleh api. Tidak ada wudlu dari apa-apa yang masuk (dimakan). Wudlu itu hanyalah disebabkan dari apa-apa yang keluar dari manusia” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 653].
Sanadnya shahih.
3. Atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
أنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّابٍ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنِ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ؟ فَقَالَ: " الْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ وَلَيْسَ مِمَّا دَخَلَ، لأَنَّهُ لا يَدْخُلُ إِلا طَيِّبًا، وَلا يُخْرِجُهُ إِلا خَبِيثًا "
Telah memberitakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari Yahyaa bin Watsaab, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang wudlu dari apa-apa yang dimasak oleh api. Maka ia menjawab : “Wudlu itu disebabkan dari apa-apa yang keluar (dari tubuh), bukan dari apa-apa yang masuk, karena tidaklah sesuatu itu masuk kecuali yang baik, dan tidaklah keluar kecuali najis” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d no. 447].
Dhahir sanadnya shahih, Syu’bah termasuk di antara ashhaab Abi Ishaaq As-Sabii’iy, dari riwayatnya dari Abu Ishaaq dijadikan hujjah oleh Syaikhaan (Al-Bukhaariy dan Muslim). Akan tetapi Abu Ishaaq diselisihi oleh Abu Hushain dimana ia meriwayatkan dari Yahyaa bin Watsaab, dari Ibnu ‘Abbaas [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 100].
Abu Hushain, ia adalah ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain, Abu Hushain Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun128 H/129 H/132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 664 no. 4516].
Ahmad bin Hanbal pernah ditanya : “Shahih mana haditsnya antara ia (Abu Hushain) dengan Abu Ishaaq (As-Sabii’iy) ?”. Ahmad menjawab : “Abu Hushain lebih shahih haditsnya karena sedikit hadits yang ia miliki” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, 2/428].
Wallaahu a’lam.
4. Atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa yang lain.
حَدَّثَنَا عَائِذُ بْنُ حَبِيبٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَكَلَ لَحْمَ جَزُورٍ وَشَرِبَ لَبَنَ إِبِلٍ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aaidz bin Habiib, dari Yahyaa bin Qais, ia berkata : “Aku melihat Ibnu ‘Umar memakan daging onta dan minum susu onta. Kemudian shalat tanpa berwudlu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 1/47 no. 519].
Sanadnya lemah, karena Yahyaa bin Qais Ath-Thaaifiy, majhuul.
5. Atsar ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ أَبِي سَبْرَةَ النَّخَعِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَكَلَ لَحْمَ جَزُورٍ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Jaabir, dari Abu Sabrah An-Nakha’iy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah makan daging onta, kemudian berdiri shalat tanpa berwudlu (kembali)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 1/47 no. 521].
Sanadnya lemah dikarenakan Jaabir bin Yaziid Al-Ju’fiy. Ibnu Hajar berkata : ”Lemah (dla’iif), Raafidliy” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 886 – atau selengkapnya silakan baca biografinya pada Tahdziibul-Kamaal, 4/465-472 no. 879]. Adapun Abu Sabrah An-Nakha’iy Al-Kuufiy; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1151 no. 8175].
6. Atsar ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ، أَنَّ عَلِيًّا أَكَلَ لَحْمَ جَزُورٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syariik, dari Jaabir, dari ‘Abdullah bin Al-Hasan : Bahwasannya ‘Aliy pernah makan daging onta, kemudian shalat tanpa berwudlu (kembali)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 1/47 no. 522].
Sanadnya lemah karena :
a. Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
b. Jaabir Al-Ju’fiy, telah lewat keterangannya.
7. Atsar Mujaahid rahimahullah.
حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ طَاوُسٍ، وَعَطَاءٍ، وَمُجَاهِدٍ، أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَتَوَضَّؤُونَ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ وَأَلْبَانِهَا
Telah menceritakan kepada kami Hafsh, dari Laits, dari Thaawus, dari ‘Athaa dan Mujaahid : “Sesungguhnya mereka tidak berwudlu setelah makan daging onta dan susunya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 1/47 no. 520].
‘Mereka’ di sini adalah para shahabat dan tabi’iin.
Akan tetapi sanad riwayat ini lemah dikarenakan Al-Laits bin Abi Sulaim, seorang perawi dla’iif. Ahmad bin Hanbal berkata : ”Mudltharibul-hadiits, namun orang-orang meriwayatkan darinya”. Yahya bin Ma’iin berkata : ”Dla’iif, namun ditulis haditsnya”. Abu Ma’mar Al-Qathii’iy berkata : ”Ibnu ’Uyainah mendla’ifkan Laits bin Abi Sulaim”. Dan yang lainnya [selengkapnya lihat Tahdziibul-Kamaal, 24/279-288 no. 5017].
Dalil Ulama yang Mewajibkan Wudlu :
1. Hadits Jaabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ الْجَحْدَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، " أَنَّ رَجُلًا، سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ، قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ، قَالَ: أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الإِبِلِ؟ قَالَ: لَا "
Telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil Fudlail bin Husain Al-Jahdariy : telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari ‘Utsmaan bin ‘Abdillah bin Mauhab, dari Ja’far bin Abi Tsaur, dari Jaabir bin Samurah : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah aku harus berwudlu setelah makan daging kambing ?”. Beliau menjawab : “Apabila engkau ingin, berwudlulah. Dan jika engkau ingin, tidak usah berwudlu”. Ia kembali bertanya : “Apakah aku harus berwudlu setelah makan daging onta ?”. Beliau menjawab : “Ya, berwudlulah setelah makan daging onta”. Ia kembali bertanya: “Apakah aku boleh shalat di kandang kambing ?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Ia kembali bertanya : “Apakah aku boleh shalat di tempat menderum (kandang) onta ?”. Beliau menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 360].
Dalam lafadh lain :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: " كُنَّا نَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ وَلَا نَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Muhammad bin Qais, dari Ja’far bin Abi Tsaur, dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Dulu kami berwudlu dari (makan) daging onta, namun tidak berwudlu dari (makan) daging kambing” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/46 no. 517].
Sanadnya hasan.
‘Kami’ di sini maksudnya para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Hadits ini sangat jelas jelas menunjukkan kewajiban wudlu setelah makan daging onta.
2. Hadits Al-Baraa’ bin ‘Aazib radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّازِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوُضُوءِ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ، فَقَالَ: " تَوَضَّئُوا مِنْهَا "، وَسُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ، فَقَالَ: " لَا تَتَوَضَّئُوا مِنْهَا ".
Telah menceritakan kepada kami Hanaad : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari ‘Abdullah bin ‘Abdillah Ar-Raaziy, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Al-Baraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang wudluu karena makan daging onta. Maka beliau menjawab : “Berwudlulah kalian darinya”. Dan beliau juga pernah ditanya tentang wudlu karena makan daging kambing. Maka beliau menjawab : “Kalian tidak perlu wudlu darinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 81].
Sanadnya shahih. Al-A’masy telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari ‘Abdullah bin ‘Abdillah Ar-Raaziy sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy dalam Musnad-nya (no. 771).
Pembahasan :
Jumhur ulama memberikan jawaban atas dua dalil utama yang dibawakan pihak yang berseberangan dengan mereka : Bahwasannya perintah berwudlu dalam hadits tersebut maknanya bukan berwudlu dalam istilah syar’iy, namun mencuci tangan dari daging onta.
Namun jawaban ini sangat sulit diterima, karena :
1. Bertentangan dengan dhahir hadits, karena orang yang bertanya kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang wudlu yang dengannya ia akan menegakkan shalat.
2. Seandainya maksud ‘wudlu’ dalam hadits Jaabir bin Samurah dan Al-Baraa’ adalah mencuci tangan, lantas apa faedahnya pembedaan dengan makan daging kambing ?.
Jumhur ulama juga memberikan jawaban lain bahwasannya hadits Jaabir bin Samurah dan Al-Baraa’ telah dihapus dengan hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhum. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, lafadh hadits Jaabir bin ‘Abdillah yang berasal dari jalur Syu’aib bin Abu Hamzah, dari Ibnul-Munkadir, darinya; ma’luul matannya, karena ia merupakan peringkasan hadits yang panjang yang menjelaskan fi’il Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang makan daging kambing tanpa mengulangi wudlunya. Jadi, ini tidak bertentangan dengan hadits Jaabir bin Samurah dan Al-Baraa’ bin ‘Aazib radliyallaahu ‘anhum.
Tarjih :
Nampak di sini pendalilan ulama yang memegang pendapat kedua lebih kuat daripada jumhur ulama. Adapun atsar Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum tidaklah dapat disejajarkan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Atau, perkataan keduanya dapat dipahami sesuai dengan keumumannya, dan kemudian di-takhshishdengan kewajiban wudlu karena makan daging onta. Inilah pendapat yang beredar di kalangan shahabat sebagaimana riwayat Jaabir bin Samurah yang dibawakan oleh Ibnu Abi Syaibah di atas. Wallaahu a’lam.
Semoga penjelasan ini ada manfaatnya, terutama ikhwah yang pernah menanyakannya di kolom komentar.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – banyak mengambil faedah dari kitab : Ahkaamuth-Thaharah oleh Dibyaan bin Muhammad Ad-Dibyaan, 10/833-858; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1425 H].
Penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah :
Penjelasan Asy-Syaikh Dr. Khaalid Al-Mushlih hafidhahullah :
Penjelasan Asy-Syaikh Dr. Khaalid Al-Mushlih hafidhahullah :
Penjelasan Asy-Syaikh ‘Utsmaan Al-Khamiis hafidhahullah :
Penjelasan Asy-Syaikh Muhammad Hassaan hafidhahullah :
[1] Pendapat Hanaafiyyah : Badaai’ush-Shanai’, 1/32.
Pendapat Maalikiyyah : Al-Muntaqaa lil-Baajiy, 1/65.
Pendapat Syaafi’iyyah : Al-Majmuu’, 2/66.
[2] An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Untuk daging onta, maka ada dua pendapat. Dalam pendapat yang baru dan masyhur : tidak membatalkan wudlu, dan hal itu shahih menurut shahabat-shahabat (Asy-Syaafi’iy). Dan pendapat yang lama : membatalkan wudlu, dan hal itu lemah/dla’iif menurut shahabat-shahabat (Asy-Syaafi’iy), akan tetapi kuat atau shahih dari segi dalil. Pendapat itulah (yaitu membatalkan wudlu) yang aku yakini lebih kuat. Al-Baihaqiy telah mengisyaratkan akan pentarjihannya, serta memilih dan membelanya” [Al-Majmuu’, 2/66].
[3] Al-Fataawaa Al-Kubraa 1/286, I’laamul-Muwaqqi’iin 1/298, Al-Furuu’ 1/183, dan Al-Inshaaf1/216.
[4] Lihat : Shahiih Ibni Khuzaimah 1/21, Shahiih Ibni Hibbaan 3/432, Sunan At-Tirmidziy1/120, dan Masaailul-Kuusij li-Ishaaq bin Raahawaih no. 110.
[5] Sebagian ulama ada yang men-ta’liil hadits ini dengan sebab bahwa Muhammad bin Al-Munkadir tidak mendengar hadits ini dari Jaabir, namun ia mendengar melalui perantaraan ‘Abdullah bin ‘Aqiil Al-Haasyimiy. Ta’liil ini didasarkan oleh riwayat :
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، سَمِعْتُ ابْنَ الْمُنْكَدِرِ غَيْرَ مَرَّةٍ، يَقُولُ: عَنْ جَابِرٍ، وَكَأَنِّي سَمِعْتُه مَرَّة يَقُولُ: أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ جَابِرًا، فَظَنَنْتُهُ سَمِعَهُ مِنَ ابنِ عَقيلٍ، ابْنُ الْمُنْكَدِرِ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ جَابِرٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ لَحْمًا ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ أَكَلَ لَحْمًا، ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، وَأَنَّ عُمَرَ أَكَلَ لَحْمًا، ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Aku mendengar Ibnul-Munkadir lebih dari sekali berkata : ‘Dari Jaabir’ ; dan seakan aku mendengarnya sekali berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku dari seseorang yang mendengar dari Jaabir. Lalu aku menduganya ia mendengar dari Ibnu ‘Aqiil. Ibnul-Munkadir dan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Jaabir : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan sepotong daging, kemudian shalat tanpa berwudlu kembali. Dan bahwasannya Abu Bakr makan sepotong daging, kemudian shalat tanpa berwudlu kembali. Begitu juga dengan ‘Umar yang makan sepotong daging, kemudian shalat tanpa berwudlu kembali” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/307].
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
وقال بعضهم : عن ابن المنكدر : سمعتُ جابرا، ولا يصح
“Dan sebagian perawi berkata : Dari Ibnul-Munkadir : ‘Aku mendengar Jaabir’, ini tidak shahih” [At-Taariikh Ash-Shaghiir, 2/250].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
لَمْ يَسْمَعِ ابْنُ الْمُنْكَدِرِ هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ جَابِرٍ، إِنَّمَا سَمِعَهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ جَابِرٍ
“Ibnul-Munkadir tidak mendengar hadits ini dari Jaabir. Ia hanyalah mendengar hadits ini dari ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Jaabir” [Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar, no. 347].
Namun perkataan ini tidak benar – wallaahu a’lam - , dengan sebab :
a. Ibnu Juraij telah membawakan hadits ini dari Ibnul-Munkadir dengan lafadh : ‘Aku mendengar Jaabir’. Ibnu Juraij adalah seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].
Begitu juga dengan Ma’mar, dimana ‘Abdurrazzaq berkata :
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، وَابْنُ جُرَيْجٍ قَالا: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ......
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar dan Ibnu Juraij, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Munkadir, ia berkata : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah berkata : “.... (al-hadits...” [Al-Mushannaf, no. 639].
Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
Persaksian Ibnu Juraij dan Ma’mar ini dikuatkan oleh Abu Ma’syar sebagaimana riwayat Abu Ya’laa :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ، عَنِ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ، فَقَالَ: حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " أَكَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ بَعْدَ وَضُوئِهِ الأَوَّلِ "، ثُمَّ أَكَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، ثُمَّ أَكَلْتُ مَعَ عُمَرَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، ثُمَّ أَكَلْتُ مَعَ عُثْمَانَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar : Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Al-Munkadir perihal wudlu dari apa-apa yang disentuh oleh api. Ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku pernah makan bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau shalat tanpa berwudlu setelah wudlu beliau yang pertama. Kemudian aku makan bersama Abu Bakr, lalu ia shalat tanpa mengulangi wudlu. Kemudian aku makan bersama ‘Umar, lalu ia shalat tanpa mengulangi wudlu. Kemudian aku makan bersama ‘Utsmaan, lalu ia shalat tanpa mengulangi wudlu” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2098].
Semua perawinya tsiqaat, kecuali Abu Ma’syar, seorang yang dla’iif dari segi hapalannya. Akan tetapi riwayatnya bisa menjadi petunjuk akan kebenaran penyimakan Ibnul-Munkadir hadits ini dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu.
b. Jaabir adalah syaikh dari Ibnul-Munkadir, dan riwayat Ibnul-Munkadir dari Jaabir ini ada dalam dua kitab shahih.
c. Sufyaan (bin ‘Uyainah) sendiri dalam beberapa riwayat meriwayatkan dari Ibnu ‘Aqiil dan Ibnul-Munkadir, darii Jaabir.
Oleh karena itu, tidak ada hal yang membatalkan periwayatan Syu’aib bin Abi Hamzah, Ibnu Juraij, Ma’mar, dan Abu Ma’syar yang menyatakan penyimakan Ibnul-Munkadir dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu. Wallaahu a’lam.
[6] Agar Pembaca lebih paham keterkaitan kritikan ini dengan bahasan hukum makan daging onta, akan saya jelaskan secara ringkas :
Lafadh hadits yang dibawakan Syu’aib bin Abi Hamzah ini mengkonsekuensikan penghapusan hukum secara mutlak bagi keseluruhan daging yang tersentuh oleh api, termasuk daging onta. Lafadh tersebut tidak menerima pengecualian. Akan tetapi menurut sebagian ulama ini tidak tepat, karena dalam lafadh lain yang lebih panjang (yang tidak diringkas) disebutkan bahwa daging yang dimakan oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah daging kambing. Misalnya riwayat :
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، سَمِعَ جَابِرًا، قَالَ سُفْيَانُ: وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: " خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مَعَهُ، فَدَخَلَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ، فَذَبَحَتْ لَهُ شَاةً، فَأَكَلَ وَأَتَتْهُ بِقِنَاعٍ مِنْ رُطَبٍ، فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ تَوَضَّأَ لِلظُّهْرِ وَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ، فَأَتَتْهُ بِعُلَالَةٍ مِنْ عُلَالَةِ الشَّاةِ، فَأَكَلَ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, ia mendengar dari Jaabir. Sufyaan berkata : Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar – dan aku bersama beliau - menemui seorang wanita Anshaar. Lalu wanita tersebut menyembelih seekor kambing untuk beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun memakannya. Wanita itu pun menghidangkan kepada beliau sekeranjang ruthab, dan beliau pun memakannya. Lalu beliau berwudlu untuk shalat Dhuhur, lalu shalat, dan kemudian pergi. Lalu wanita tersebut memberikan sisa daging kambing. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun memakannya, lalu shalat ‘Ashar, tanpa berwudlu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 80; shahih].
Maka, hadits itu masih dimungkinkan untuk menerima takhshiish kewajiban berwudlu setelah makan daging onta. Setelah membawakan hadits Jaabir dari jalan Syu’aib bin Abi Hamzah, Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata :
هَذَا خَبَرٌ مُخْتَصَرٌ مِنْ حَدِيثٍ طَوِيلٍ، اخْتَصَرَهُ شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ مُتَوَهِّمًا لِنَسْخِ إِيجَابِ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ مُطْلَقًا، وَإِنَّمَا هُوَ نَسْخٌ لإِيجَابِ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ، خَلا لَحْمِ الْجَزُورِ فَقَطْ
“Ini adalah hadits yang diringkas dari hadits yang panjang. Syu’aib bin Abi Hamzah telah meringkasnya dengan menyangka hadits tersebut sebagai penghapus kewajiban wudlu dari sesuatu yang disentuh oleh api secara mutlak. (Yang benar), hadits itu hanyalah menghapus kewajiban wudlu dari sesuatu yang disentuh oleh api, selain daging onta” [Shahiih Ibni Hibbaan, 3/417].
Ada sebagian ulama berpendapat hadits Jaabir radliyallaahu ‘anhu ini tidak menasakh hukum perintah berwudlu setelah makan makanan yang disentuh api. Akan tetapi pemahamannya adalah bahwa hadits Jaabir ini memalingkan makna perintah dari kewajiban menjadi sunnah saja. Yang berpegang pada pendapat ini adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah.