Kekeliruan Sayyid Quthub dalam menilai sejarah Islam

Diposting oleh Abu Najih on 26 Oktober 2011


Oleh : Hafedz
Disadur dari Buku Prof. DR. Yusuf Qardhawi “Meluruskan Sejarah Islam”

Kali ini saya akan membawakan sebuah tulisan yang menyajikan sikap ekstrim pemikir muslim, terutama seorang aktivis senior gerakan dakwah; Sayyid Quthub. Pandangan Sayyid Quthub ini dituliskan dalam sebuah kitabnya “Al Adalah al ijtima’iyyah fi al islam”. dan disini saya akan khusus membahas bagian buku tersebut yang mengupas sejarah Islam.- perlu diketahui, dalam membahas al qur’an Sayyid Quthub memiliki dua buah buku yang sangat berharga yaitu al taswhir al fanni fi al qur’an serta Al masyahid al qiyamah fi al qur’an. akan tetapi saat itu beliau menulis itu dalam kapasitas sebagai sastrawan yang menangkap dan merasakan keindahan bahasa al qur’an lebih menonjol daripada seorang penulis yang menyeru masyarakat kepada al qur’an-
Pada kitab “Al Adalah al ijtima’iyyah fi al islam”. beliau telah menulis tentang ruh Islam dan pengaruhnya dalam perjalanan sejarah. Beliau juga menceritakan berbagai bukti kehebatan Islam dalam berbagai zaman. Akan tetapi, ketika beliau menulis tentang Sayyidina Ustman serta masa kekuasaan Marwan bin Hakam (salah seorang penguasa Dinasti Umayyah), Sayyid Quthub menuliskan secara ekstrem. Beliau menuliskan bahwa dalam menjalankan kekuasaannya merekajauh dari Islam. Menurut beliau, diantara karakter Ustman yang menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa yang banyak ditentang oleh para sahabat dan menyebabkan terjadinya berbagai fitnah yang merundung umat Islam adalah karena beliau terlalu memperhatikan kerabatnya. Sayyid Quthub menulis:
Diantara penyebab terjadinya pelanggaran terhadap aturan agama dalam kekuasaan Ustaman; pada saat Ustman berkuasa yang lebih dominan adalah keberpihakannya terhadap keluarga Umayyah. hal ini semakin parah terjadi di Syam dan beberapa wilayah sekitarnya. Sehingga akibat dari kebijakan politik Ustamn ini kekayaan bertumpuk di pihak tertentu. dengan demikian hal ini menimbulkan sikap yang revolusioner dari sebagian umat Islam. saya tidak memungkiri bahwa pada periode ini sangat berjasa dan memiliki peran yang besar terhadap kemuliaan Islam, akan tetapi bencana yang ditimbulkan dari kebijakan politik saat itu tidak dapat disepelekan.
Akhirnya Ustman menghadap Tuhannya..akan tetapi ia hanya mewariskan kekuasaan Bani Umayyah. Karena kebijakan politik selama Ustman menjadi khalifah yang sangat berpihak kepada keluarga Umayyah (terutama di Syam) mereka semakin kuat sehingga terbangunlah sebuah negara kerajaan yang penguasanya berganti secara turun-temurun dan memonopoli berbagai kekayaan negara. Hal ini juga sangat banyak mengikis nilai Islam di kalangan masyarakat luas. Oleh sebab itu opini yang tersebar di kalangan rakyat (benar atau salah), bahwa khalifah Ustman terlalu mengutamakan keluarga besarnya, sehingga ia memberikan tunjangan kepada mereka sebanyak ribuan dinar dan menyingkirkan para sahabat Rasulullah lainnya dan mengangkat musuh Rasulullah untuk menjadi penguasa. Oleh sebab itu mereka menyingkirkan orang shaleh seperti Abu Dzar karena beliau menolak penimbunan harta yang dilakukan penguasa serta memprotes berbagai kemewahan yang dimiliki oleh keluarga penguasa. Beliau selalu menyerukan agar para penguasa bersikap seperti yang diwasiatkan oleh Rasulullah s.a.w: Agar rajin berinfak, berbuat kebaikan serta menjaga harga diri (dari kerakusan).
Dengan demikian, konsekuensi dari opini yang berkembang di kalangan masyarakat luas ini (benar atau salah) banyak menimbulkan sikap yang sangat revolusioner dan frustasi. Kondisi ini menimbulkan sikap revolusioner pada mereka yang jiwanya sudah dipenuhi oleh keimanan, karena mereka tidak dapat menerima sikap penguasa, serta membuat marah mereka yang senantiasa menjadikan Islam sebagai pegangan hidup dan hatinya masih bersih, tidak terkotori oleh berbagai kemewahan duniawi. Semua ini terjadi di masa-masa akhir kekuasaan Ustman. 
Pendapat Sayyid Quthub tentang Ustman dan Bani Umayyah tersebut telah memancing kritikan dari berbagai penulis dan pemikir Islam. Mereka melihat tulisan Sayyid Quthub terlalu menuduh Ustman r.a. Sedangkan kritikan saya kepada Sayyid Quthub adalah karena beliau telah menutup kebaikan yang telah disumbangkan Ustman untuk Islam

More aboutKekeliruan Sayyid Quthub dalam menilai sejarah Islam

Antara Kedzaliman dan Pelurusan : Sayyid Qutb

Diposting oleh Abu Najih

Sayyid Qutb

Fadhilatusy Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya mengenai pendapatnya tentang Sayyid Qutb sebagaimana bisa dijumpai dalam website pribadi beliau http://almenhaj.net/makal.php?linkid=388
Beliau hafidzahullah menjawab : Terdapat dua kesalahan pembicaraan mengenai Sayyid Qutb, dan ucapan ini adalah ibadah.Dan saya (meniatkan) ibadah dalam apa yang akan saya katakan.Sungguh telah salah orang yang mengkafirkan Sayyid Qutb dengan menginteraksinya yakni dengan membawa ungkapan-ungkapan beliau yang (sebenarnya) tidak merusak keadaan beliau.Dan sebuah buku berisikan pengkafiran Sayyid Qutb, maka ini adalah bentuk kedzaliman terhadap beliau.Dan diantara kedzaliman terhadapnya adalah membawa lafadz-lafadz Sayyid Qutb padahal sesungguhnya tidak menciderai keadaan beliau.Bahkan dari kedzaliman juga terhadap Sayyid Qutb dengan menginteraksi dan menghukumi lafadz-lafadz serta ungkapan Sayyid dengan ungkapan serta istilah-istilah para ulama (definisi keilmuan syariat).Hanya saja seharusnya kita menghukuminya dengan ungkapan dan istilah kesusasteraan.Disanalah ada dua perbedaan besar antara dua hal.
Sayyid Qutb dalam bukunya berkata tentang Rabb kita ‘azza wa jalla dengan ungkapan “Risyatul Kauni Al-Mubdi’ah” (Pena yang mencipta alam semesta).Dan berkata juga tentang Rabb kita dengan ungkapan “Muhandisul Kauni Al-A’dzom”(Arsitek alam yang maha agung).Maka engkau lihat bagaimana Sayyid Qutb mensifati Allah dengan “Pena yang mencipta”.Apakah Sayyid berkeyakinan bahwa Allah itu pena? Dan apakah Allah itu seorang arsitek yang disisinya ada peralatan teknik? Tentu tidak.
Maka siapa yang mengkafirkan Sayyid Qutb karena menurut persangkaannya Sayyid itu mengatakan bahwa Allah adalah pena,ini adalah kedzaliman terhadapnya.Oleh karenanya siapa yang mengkafirkan Sayyid Qutb berarti dia menghukumi ungkapan-ungkapannya dengan istilah para ulama.Sayyid Qutb adalah seorang sustrawan dan bukan ulama.Dan pemahaman akan hal seperti ini cukup melegakan kita.Dan kami menyingkatnya dari pembahasan yang panjang serta luas.Dan (yang seperti diatas) ini bagian dengki dalam mendudukkan Sayyid Qutb
Dan menurut kami ada bagian lain dari anggapan terhadap Sayyid dengan ucapan yang diharamkan.Dan amat celaka bagi yang berbicara tentangnya, dengan berkata :Sayyid melakukan demikian dan demikian……Kami katakan, “Apa yang telah dilakukannya adalah bagi dirinya!?”.Dan kami memohon kepada Allah agar menerimanya dan Allah lah yang maha luas bijaknya dari seluruh hakim.
Akan tetapi yang penting adalah apa yang dia telah tulis dan segala sesuatunya selayaknya diluruskan.Dan kewajiban terhadap pelurusan ini dapat ditemui pada saudara nya yakni Al-Ustadz Muhammad Qutb.Beliau telah mencetak buku-buku saudaranya (Sayyid Qutb) dan dalam catatan-catatan kakinya dia berikan komentar-komentar akan penjelasan kesalahan-kesalahan Sayyid Qutb.Dan juga dijelaskan bahwa maksud Sayyid bukan demikian dan demikian.Maka sekarang kami lega dari extrimnya para kaum kafir dan dari takwilnya para pentakwil yang tidak mau (jujur) berkata bahwa Sayyid Qutb telah tersalah dalam perkataannya.
Dan saya memandang bahwa hal seperti ini adalah hal yang wajib, meskipun para ulama telah menulis kesalahan-kesalahan Sayyid Qutb,kitab -kitab beliau masih tersebar dan tidak sampai pelurusan-pelurusan yang disampaikan ahli ilmu.Diantaranya seperti apa yang ditulis Asy-Syaikh Rabi’ dan selainnya dengan bahasa ilmu (syariat) serta kritikan para ulama tidak sampai (dimengerti) semua orang, terutama bagi para pengagum Sayyid Qutb.
Sayyid Qutb menulis (kitab-kitabnya) dengan perasaannya, dan menulis dengan kiasan,dan menulis dengan ungkapan-ungkapan sastra sehingga (tentu) terdapat hal-hal yang berlawanan dengan bahasa ulama (definis syariat).Kita berbicara dalam (bahasan) tauhid, bahwa Sayyid Qutb mengingkari bahwa Allah ber-istiwa (bersemayam) diatas Arsy-nya.Dimana Sayyid berkata istiwa dengan makna istawlaa (menguasai).Dan ini adalah kesalahan besar.Bahkan dia ingkari dengan takwilnya.Juga dapat ditemui dalam kitab Sayyid Qutb ungkapan-ungkapan keras mengenai sahabat (Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam) terkhusus Amr bin Ash dan Muawiyah,misalnya dalam “Kutub Syakhshiat” (hal 242) berkata “Tatkala Muawiyah dan sahabatnya cenderung kepada kedustaan,kecurangan, bertipu muslihat,nifaq, suap,jual beli darah, (maka) Ali tidaklah memiliki kemampuan sampai pada tingkatan terendah seperti ini”. Ini adalah ungkapan yang berbahaya sekali terhadap sahabat Rasulillah shalalllahu ‘alaihi wasalam dan tidak akan mengatakannya orang yang paham tentang aqidah serta mengetahui bahwa kewajiban kita adalah menahan diri dari perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat Rasulillah shalallahu ‘alaihi wasalam sebagaimana datang dalam hadist “Idzaa dzakaro ashhabii fa amsikuu” (Apabila disebutkan tentang sahabatku maka tahanlah).Adapun disifatinya Muawiyah dan Anr dengan dusta dan curang serta penipu, maka kami berlepas diri menyerahkannya kepada Allah akan urusan ini.
Juga dalam kitabnya “Al-’Adalah Al-Ijtimaiyah”(hal 172) Sayyid mensifati khalifah yang terbimbing Ustman bahwa dia celah antara hukum Abu Bakr ,Umar dan Ali.Dan dalam halaman 159,Sayyid berkata (Telah berubah keadaan pada zaman kekuasaan Ustman ,meskipun masih dalam pagar islam).Bahkan juga Sayyid berkata ( Ali datang untuk membantah gambaran islam dalam hukum kepada jiwa-jiwa penguasa dan manusia) Maka pernyataan ini seolah-olah Ustman tidak berhukum dengan islam ,dan ungkapan seperti ini keras dan kami tidak menerimanya.
Maka salahlah siapa yang mengkafirkan Sayyid Qutb dan juga salah orang yang membiarkan atau membaikkan.Dan selayaknya kita berani agar orang-orang yang bodoh tidak lancang (keblablasan),terhadap Sayyid.Maka kita jelaskan dengan mengatakan, ini salah dan itu salah serta maksudnya demikian dan demikian agar batu di wajahnya bagi yang mengkafirkan sayyid qutb.Dan meletakkan sesuatu pada tempat-tempatnya.Maka dalam berlebihan terhadap Sayyid dan berlebihan dalam kebencian terhadapnya.Dan kebanyakan para syabab (pemuda) hari ini sangat disayangkan ,dimana mereka belajar agama Allah dan tumbuh bersama kitab-kitab Sayyid Qutb padahal tidak didapati pada kitab-kitab Sayyid ilmu syar’iy (yang mencukupi).Maka adalah yang pokok bagi para pemuda ini agar mengokohkan diri dalam ilmu syariat.Maka selayaknya mereka menerima KItab dan Sunnah.Dan inilah menurut saya pada permasalahan ini.Semoga Allah memberikan taufiq kepada antum akan kebaikan dan menjauhkan saya serta antum kejelekan -kejelekan dan kemungkaran.


sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/antara-kedzaliman-dan-pelurusan-sayyid.html
More aboutAntara Kedzaliman dan Pelurusan : Sayyid Qutb

Siapakah Tokoh Di Balik Radikalisme dan Terorisme?

Diposting oleh Abu Najih on 21 Oktober 2011

Radikalisme dan Terorisme?



Penulis: Al Ustadz Muhammad Arifin Baderi, MA


Dunia internasional secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di situ. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif Alus Sa’ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.


Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?


Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengisyang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?


Harian “Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin. Di antara catatan harian Dr Aiman al-Zawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:


أَنَّ سَيِّدَ قُطُبٍ هُوَ الَّذِيْ وَضَعَ دُسْتُوْرَ التَّكْفِيْرِييِْنَ الْجِهَادِيِيْنَ) فِيْ كِتَابِهِ الدِّيْنَامِيْتِ مَعَالِمَ عَلَى الطَّرِيْقِ، وَأَنَّ فِكْرَ سَيِّدٍ هُوَ (وَحَدَهُ) مَصْدَرُ اْلأَحْيَاءِ اْلأُصُوْلِيْ، وَأَنَّ كِتَابَهُ الْعَدَالَةَ اْلاِجْتِمَاعِيَّةَ فِيْ اْلإِسْلاَمِ يُعَدُّ أَهَمَّ إِنْتَاجٍ عَقْلِيٍّ وَفِكْرِيٍّ لِلتَّيَّارَاتِ اْلأُصُوْلِيَّةِ، وَأَنْ فِكْرَ سَيِّدٍ كاَنَ شَرَارَةَ الْبَدْءِ فِيْ إِشْعَالِ الثَّوْرَةِ (الَّتِيْ وَصَفَهَا بِاْلإِسْلاَمِيَّةِ) ضِدَّ (مَنْ سَمَّاهُمْ) أَعْدَاءَ اْلإِسْلاَمِ فِيْ الدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ، وَالَّتِيْ مَا زَالَتْ فَصُوْلُهَا الدَّامِيَةُ تَتَجَدَّدُ يَوْماً بَعْدَ يَوْمٍ


“Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma’âlim Fî At-Tharîq’ meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthublah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaima kitab beliau yang berjudul ” Al-’Adâlah Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm” merupakan. Hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”


Pengakuan Dr Aiman al-Zawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa`ûd. Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M.


“Tanpa ada keraguan sedikitpun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwânul Muslimîn. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”


Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”


Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata:“Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”


Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zawâhiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:


Nukilan 1 :


نَحْنُ نَدْعُوْ إِلَى اسْتِئْنَافِ حَيَاةٍ إِسْلاَمِيَّةٍ فِيْ مُجْتَمَعٍ إِسْلاَمِيٍّ تَحْكُمُهُ الْعَقِيْدَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالتَّصَوُّرُ اْلإِسْلاَمِيُّ كَمَا تَحْكُمُهُ الشَّرِيْعَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالنِّظَامُ اْلإِسْلاَمِيُّ. وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ الْحَيَاةَ اْلإِسْلاَمِيَّةَ عَلَى هَذَا النَّحْوِ قَدْ تَوَقَّفَتْ مُنْذُ فَتْرَةٍ طَوِيْلَةٍ فِيْ جَمِيْعٍ ِلأَنْحَاءِ اْلأَرْضِ، وَإِنَّ وُجُوْدَ اْلإِسْلاَمِ ذَاتِهُ مِنْ ثَمَّ قُدْ تَوَقَّفَ كَذَالِكَ


“Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari’at dan undang-undang yang Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.” [Al 'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah 182].


Nukilan 2 :


وَحِيْنَ نَسْتَعْرِضُ وَجْهَ اْلأَرْضِ كُلَّهُ اْليَوْمَ عَلَى ضَوْءِ هَذا التَّقْرِيْرِ اِْلإلَهِيْ لِمَفْهُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلإِسْلاَمِ، لاَ نَرَى لِهَذَا الدِّيْنِ وُجُوْدًا


“Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini.” [Al- 'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah hlm. 183].


Saudaraku! sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi anda setelah membaca ucapan ini?


Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub -semoga Allah mengampuninya- melalui bukunya yang oleh Dr Aiman Al-Zawâhiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.


Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fî Zhilâlil Qur’ân” ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “Tempat peribadahan Jahiliyah“. Sayyid Quthub berkata:


اعْتِزَالُ مَعَابِدِ الْجَاهِلِيَّةِ وَاتِّخَاذُ بُيُوْتِ الْعِصْبَةِ الْمُسْلِمَةِ مَسَاجِدَ. تُحِسُّ فِيْهَا بِاْلاِنْعِزَالِ عَنِ الْمُجْتَمَعِ الْجَاهِلِيِّ؛ وَتُزَاوِلُ فِيْهَا عِبَادَتَهَا لِربِّهَا عَلَى نَهْجٍ صَحِيْحٍ؛ وتُزَاوِلُ بِالْعِبَادَةِ ذَاتِهَا نَوْعاً مِنَ التَّنْظِيْمِ فِيْ جَوِّ الْعِبَادَةِ الطَّهُوْرِ


“Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhîm dalam nuansa ibadah yang suci.”


Yang dimaksud “Ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.


Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:


لِهَذِهِ اْلأَسْبَابِ مُجْتَمِعَةً فَكَّرْنَا فِيْ خِطَّةٍ وَوَسِيْلَةٍ تَرُدُّ اْلاِعْتَِدَاءَ .. وَالَّذِيْ قُلْتُهُ لَهُمْ لِيُفَكِّرُوْا فِيْ الْخِطَّةِ وَالْوَسِيْلَةِ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُمْ هُمُ الَّذِيْنَ سَيَقُوْمُوْنَ بِهَا ِبِمَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ مِنْ ِإمْكَانِيَاتٍ لاَ أَمْلِكُ أَنَا مَعْرِفَتَهَا بِالضَّبْطِ وَلاَ تَحْدِيْدَهَا…….. .. وَهَذِهِ اْلأَعْمَالُ هِيَ الرَّدُّ فَوْرَ وُقُوْعِ اعْتِقَالاَتٍ ِلأَعْضَاءِ التَّنْظِيْمِ بِإِزَالَةِ رُؤُوْسٍ فِيْ مَقْدَمَتِهَا رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ وَرَئِيْسُ الْوِزَارَةِ وَمُدِيْرُ مَكْتَبِ الْمُشِيْرِ وَمُدِيْرُ الْمُخَابِرَاتِ وَمُدِيْرُ اْلبُوْلِيْسِ الْحَرْبِيْ، ثُمَّ نَسْفٌ لِبَعْضِ الْمَنْشَآتِ الَّتِيْ تَشِلُ حَرَكَةً مَوَاصَلاَتِ الْقَاهِرَةِ لِضِمَانِ عَدَمِ تَتَبًّعِ بَقِيَّةِ اْلإِخْوَانِ فِيْهَا وَفِيْ خَارِجِهَا كَمَحَطَّةِ الْكَهْرَبَاءِ وَالْكِبَارِيْ،


“Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama`ah: “Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya …… Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana mentri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan mengebom berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.” [Limâzâ A'adamûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55]


Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini.


Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwânul Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:


1. Aliran Hasan al-Banna
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:


نَجْتَمِعُ عَلَى مَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ وَيَعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمًا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ


“kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita”.


Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.


2. Aliran Sayyid Quthub
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “Tempat peribadatan jahiliyyah”.


Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâsir, ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana diutarakan di atas.


3. Aliran Muhammad Surûr Zaenal Abidin
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.


Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Azîz di atas.


Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwânul Muslimîn berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah yang anti-pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwânul Muslimîn turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhîd hakimiyyah.


Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhîd hakimiyyah ini:


تَقُوْمُ نَظَرِيَّةُ الْحُكْمِ فِي اْلإِسْلاَمِ عَلَى أَسَاسِ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَمَتَى تَقَرَّرَ أَنَّ اْلأُلُوْهِيَّةَ ِللهِ وَحْدَهُ بَهَذِهِ الشَّهَادَةِ، تَقَرَّرَ بِهَا أَنَّ الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ ِللهِ وَحْدَهُ. وَاللهُ سُبْحَانَهُ يَتَوَلَّى الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ عَنْ طَرِيْقٍ أَمَرَهُمْ بِمَشِيْئَتِه وَقَدْرِهِ مِنْ جَانِبٍ، وَعَنْ طَرِيْقِ تَنْظِيْمِ أَوْضَاعِهِمْ وَحَيَاتِهِمْ وَحُقُوْقِهِمْ وَوَاجِبَاتِهِمْ وَعَلاَقَاتِهِمْ وَارْتِبَاطَاتِهِمْ بِشَرِيْعَتِهِ وَمَنْهَجِهِ مِنْ جَانِبٍ آخَرَ…. وَبِنَاءً عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُوْمَ اْلبَشَرُ بِوَضْعِ أَنْظِمَةِ الْحُكْمِ وَشَرَائِعِهِ وَقَوَانِيْنِهِ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ؛ ِلأَنَّ هَذَا مَعْنَاهُ رَفْضُ أُلُوْهِيَّةِ اللهِ وَادِّعَاءِ خَصَائِصِ اْلأُُلُوْهِيَّةِ فِيْ الْوَقْتِ ذَاتِهِ، وَهُوَ اْلكُفْرُ الصَّرَاحُ


“Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh yang behak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah Azza wa Jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah Azza wa Jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan ajaran-ajaran-Nya…… Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allah Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.” [Al 'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah hlm. 80]


Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An’âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan: “Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada “lâ ilâha illallâhu”. Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari “lâ ilâha illallâhu”. Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang ucapan “lâ ilâha illallâhu”, akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat “al-hakimiyah” pada dirinya. Padahal “al-hakimiyah” adalah sinonim dengan “al- ulûhiyah “.


Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri anda yang bukan muadzin?


Kedudukan al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari’at dalam Islam, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan ulûhiyyah . Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rubûbiyyah Allah Azza wa Jalla . Karenanya, setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi, serta pergantian siang dan malam, Allah Azza wa Jalla berfirman:


“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [al A'râf/7:54-55]


Pada ayat 54, Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allah Azza wa Jalla . Pada ayat selanjutnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hâkimiyah disejajarkan dengan ulûhiyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding al- ulûhiyah.


Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, di antara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup bagus dan layak di tiru ialah:


1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab: Sayyid Quthub Al-Muftarâ ‘alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh


2. Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama’ guna meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.


Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa’ûd al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa’ûd berkata: “Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya bin Lâdin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkat pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn. Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut.


Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.” [Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825]


Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan Sahabatnya.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Judul asli: Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme dan Terorisme Modern Di Tengah Umat Islam
More aboutSiapakah Tokoh Di Balik Radikalisme dan Terorisme?

Saudi Larang Dua Buku Sayyid Qutb

Diposting oleh Abu Najih


Awas Buku Sesat

Kementerian Pendidikan Arab Saudi baru-baru ini memerintahkan untuk menarik dua buku Sayyid Qutb dari perpustakaan-perpustakaan sekolah di Saudi, karena dinilai berisi ide-ide ektrimis dan bisa menyesatkan para siswa-siswi yang membacanya.
Perintah penarikan kedua buku itu diakui oleh direktur sekolah khusus anak lelaki di provinsi Asir, Abdul Rahman al-Fasil dan direktur sekolah khusus anak perempuan di provinsi Abha, Ibrahim al-Hamdan.
Dua buku Sayyid Qutb yang diperintahkan untuk ditarik dari perpustakaan berjudul "The Lies About Sayyid Qutb" dan "The Jihad in the Way of God".
"Kedua buku itu sebenarnya sudah lama ada di perpustakaan-perpustakaan sekolah, tapi belum pernah dilakukan pengawasan apakah buku itu pantas dibaca para siswa atau tidak," kata Abdul Rahman al-Fasil.
"Tujuan penarikan kedua buku ini untuk melindungi siswa-siswi yang masih muda dari ideologi-ideologi yang menyimpang," sambung Ibrahim al-Hamdan.
Sayyid Qutb adalah penulis dan tokoh intelektual pendiri gerakan Ikhwanul Muslim di Mesir pada era tahun 1950-1960-an.
Penulis Saudi, Abdul Wahid al-Ansari berpendapat, jika kedua buku Qutb dianggap berbahaya untuk siswa sekolah, maka tindakan kementerian pendidikan Saudi mengeluarkan perintah penarikan buku tersebut sudah benar. Menurutnya, bukan tidak mungkin masih banyak buku-buku yang berisi ideologi-ideologi ekstrim yang beredar di Saudi.
Kementerian Pendidikan Saudi menyatakan, pihaknya sudah beberapa kali mengeluarkan perintah penarikan buku-buku yang dianggap tidak pantas dibaca siswa dari perpustakaan-perpustakaan sekolah. Buku-buku yang dinyatakan dilarang, dimusnahkan atau disimpan di satu tempat khusus. (ln/aby). 
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/dunia/saudi-larang-dua-buku-sayyid-qutb.htm
More aboutSaudi Larang Dua Buku Sayyid Qutb

FATWA-FATWA PARA ULAMA TENTANG SAYYID QUTHB

Diposting oleh Abu Najih


FATWA-FATWA PARA ULAMA TENTANG SAYYID QUTHB



Oleh : 
Andy Abu Thalib Al-Atsary


Penulis buku “Al-Ikhwan Al-Muslimun : Anugrah Allah Yang Terzalimi berkata di halam 50 paragraf 4.


“Dr. Rabi’ bin Hadi –wafaqahullah- berkata tentang Sayyid Quthb, “Menurut kami, diamnya Sayyid Quthb terhadap bid’ah dan kesesatan karena dua hal. Pertama, ia banyak terlibat di sebagian besar bid’ah itu. Kedua, ia tidak peduli dengan masalah itu asalkan dia sendiri tidak terjerumus di dalamnya”. Itulah perkataan yang dibuat-buat yang sebagiannya telah dibantah masyayikh mereka sendiri”.


Jawaban.
Saya berkata : Perkataan penulis diatas adalah dusta. Saya tidak menemukan satupun perkataan masyayikh Ahlus Sunnah yang membantah perkataan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah. Sebaliknya yang saya temukan adalah pujian dari para ulama kepada Syaikh Rabi’ atas apa yang telah dilakukannya –yakni mengungkap kebatilan pemikiran Sayyid Quthb- dalam buku-buku beliau.


Berikut saya kutipkan fatwa-fatwa para ulama tentang Sayyid Quthub [1], yang membuktikan bahwa tidak ada satupun ulama Ahlus Sunnah yang membantah Syaikh Rabi, bahkan mereka semua –semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan mereka semua- membenarkan apa yang telah ditulis oleh Syaikh Rabi’ dan mereka semuanya turut membuka kedok Sayyid Quthb.


Berkata Al-Muhadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam ta’liq beliau atas khatimah dari kitab Syaikh Rabi hafzhahullah yang berjudul Al-Awashim Mimma fii Kutubi Sayyid Quthb minal Qawashim[2].


Segala hal yang telah disampaikannya (Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali) tentang Sayyid Quthb benar dan tepat. Dan diantaranya menunjukkan pada semua pembaca tentang pengetahuan ke Islaman, bahwasanya Sayyid Quthb tidak mengetahui tentang Islam baik secara Ushul (dasar) maupun Furu’ (cabang). Maka saya berterima kasih kepada Al-Akh (Syaikh Rabi bin Hadi) atas ditegakkannya kewajiban untuk menjelaskan dan menyingkap akan kejahilan dan penyimpangan (Sayyid Quthub) dari Islam


Berkata Fadhilatusy Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam sebuah rekaman di Jeddah tertanggal 23/31421H : Pertanyaan : “Sesungguhnya kami sedikit banyak mengetahui tentang Sayyid Quthb, akan tetapi ada satu hal yang kami belum dengar tentangnya. Kami mendengar dari salah seorang thalabul ilmi yang mengatakan : Bahwasanya Sayyid Quthb berbicara tentang wihdatul wujud? Kami mengharap kesediaan Syaikh untuk menjawabnya, terima kasih”.


Berkata Syaikh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, “Saya sedikit menelaah kitab-kitab Sayyid Quthb dan saya tidak mengetahui tentang orang ini (Sayyid Quthb). Akan tetapi beberapa ulama telah menulis tentang koreksian atas tulisan-tulisan (Sayyid Quthb) dalam Fii Zhilalil Qur’an, dan beberapa tulisan lain tentang hal itu, seperti yang ditulis oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwais rahimahullah dan tulisan saudara kami, Syaikh Rabi’ Al-Madkhali, tentang tafsir Sayyid Quthb dan lain-lainnya. Maka barangsiapa yang menghendaki merujunya silahkan”.


Ditanyakan kepada Syaikh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, “Bagaimana menurut pandangan Anda tentang orang yang menganjurkan para pemuda Sunni untuk membaca buku-buku Sayyid Quthb, diantaranya Fii Zhilalil Qur’an, Ma’alim ala Thariq, dan Limadza A’dzamuni, tanpa menerangkan kesalahan-kesalahan dan kesesatan-kesesatan yang ada di dalamnya?”


Berkata Syaikh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, “Saya berkata –semoga Allah memberikan barokah kepadamu- bahwasanya nasehat itu bagi Allah dan RasulNya, dan bagi saudaranya muslim. Bahwasanya saya sangat berharap kepada seluruh orang untuk membaca kitab-kitab mutaqadimin dalam masalah tafsir, dan selainnya, karena itu lebih membawa barokah, lebih bermanfaat, dan lebih dari kitab-kitab muta’akahirin. Dan bahwasanya tafsir Sayyid Quthb –semoga Allah merahmatinya- didalamnya terdapat kesalahan –dan saya mengharap Allah akan mengampuninya- : Misalnya tafsirnya tentang Istiwa, tafsir surat (Qul huwallahu ahad), dan juga pensifatannya terhadap para Nabi yang seharusnya pensifatan tersebut tidak dilakukannya” [3]


Berkata Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika ditanyakan tentang pengkafiran orang yang meninggalkan shalat oleh Imam Ahmad dan pengkafiran masyarakat oleh Sayyid Quthb, mengapa keduanya tidak diperlakukan sama ? (Ahlus Sunnah memperlakukan beda antara Imam Ahmad dan Sayyid Quthb?).


Syaikh Al-Fauzan menjawab, “Imam Ahmad adalah seorang alim, masyhur, mengetahui dalil-dalil dan jalan untuk beristidlal (berdalil), sedangkan Sayyid Quthb adalah jahil, tidak ada padanya ilmu dan pengetahuan, dan dia tidak memiliki dalil dalam perkataannya. Melakukan perbandingan antara Imam Ahmad dan Sayyid Quthb adalah kezhaliman. Bahwasanya pada Imam Ahmad banyak sekali dalil dari Kitab dan Sunnah tentang pengkafiran bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, dan pada Sayyid Quthb tidak ada dalil satupun yang mendasari pengkafiran terhadap masyarakat muslimin secara menyeluruh, bahkan yang ada ada adalah sebaliknya”.


Ketika Syaikh Al-Fauzan hafizhahullah ditanyakan apakah Sayyid Quthb termasuk dalam golongan mujtahid? Maka beliau menjawab, “Bahwasanya dia (Sayyid Quthb) adalah jahil dan diberi udzur karena kejahilannya. Lalu juga bahwasanya masalah akidah bukanlah majal (bidang)nya ijtihad, tetapi (akidah) adalah majalnya taufiqiyah (berdalil dengan nash)”.


Berkata Fadhilatush Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr hafizhahullah ketika ditanyakan perihal membaca buku-buku tulisan Sayyid Quthb, beliau menjawab, “Bahwasanya Sayyid Quthb bukan termasuk ulama yang dapat diikuti perkataannya dalam masalah-masalah ilmiyah …” [4]


Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr ketika ditanya tentang kitab Fii Zhilalil Qur’an, “Kitab Zhilalil Qur’an atau Fii Zhilalil Qur’an yang ditulis oleh Syaikh Sayyid Quthb –semoga Allah merahmatinya- adalah sebuah tafsir baru yang didasarkan atas ra’yu (akal semata), bukan berdasar atas naql (dalil syar’i), dan tidak juga berdasar atas Atsar. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa orang-orang rasionalis (ashabu ra’yi), yang mana mereka itu berkata-kata dengan berdasar akal saja akan menghasilkan kesalahan-kesalahan dan keburukan …” [5]


Berkata Syaikh Hammad Al-Anshary –rahimahullah- ketika ditanya tentang perkataan Sayyid Quthb yang ada di kitabnya Mu’arakah Al-Ra’samaliyah Al-Islamiyah. Syaikh berkata, “Apabila orang ini (Sayyid Quthb) masih hidup maka hendaknya ia bertaubat, maka apabila tidak, dapat dihukumi mati sebagai orang murtad. (Karena) ia telah meninggal maka dijelaskan (pada umat) bahwa perkataannya itu bathil dan kita tidak mengkafirkannya karena kita belum menegakkan hujjah atasnya” [6]


Berkata Fadhilatu Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya tentang perkataan Sayyid Quthb –semoga Allah mengampuninya- dalam Fii Zhlialil Qur’an ketika Sayyid Quthb menafsirkan ayat (Ar-Rahmanu ala arsy istawa).


Beliau (Sayyid Quthb) mengatakan, “Dalam hal istiwa di atas Arsy maka hendaknya kita mengatakan : Bahwasanya istiwa’ itu artinya penguasaan (Allah) atas makhluknya” [7]


Berkata Syaikh Bin Baz rahimahullah, “Semua perkataan di atas adalah perkataan yang fasid. Maksud dari pemaknaan ‘penguasaan’ di sini (pada hakikatnya) mengingkari istiwa’ yang maknanya sudah jelas : Tinggi di atas Arsy. Apa yang dikatakannya (Sayyid Quthb) adalah bathil dan ini menunjukkan bahwa dia miskin dalam (ilmu) tasfir” [8]


Dan masih banyak lagi fatwa yang sebenarnya bisa saya turunkan di sini, akan tetapi mengingat keterbatasan tempat, saya cukupkan pada fatwa para ulama mu’tabar.


Hal ini semua membuktikan bahwa apa yang didakwakan oleh penulis bahwa Syaikh Rabi Al-Madkhali hafizhahullah telah dibantah oleh para masyayikh tidak terbukti. Maka wajib bagi penulis untuk mendatangkan bukti yang lebih rajih dan qawwi untuk membantah ini semua.


Bahkan ada pada saya fatwa-fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Ghadyan, Syaikh Muhsin Al-Abbad, Syaikh Hammad Al-Anshari, Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Ubiad Al-Jabiri, Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhali, Syaikh Muhamamd bin Jamil Zainu dan masih banyak lagi fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang memberikan bantahan dan juga Jahr wa Ta’dil pada buku-buku Sayyid Quthb.




[Disalin dari buku Menyingkap Syubhat Dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin Catatan Dan Bantahan Atas Buku Al-Ikhwan Al-Muslimun : Anugerah Allah Yang Terzalimi, Penulis Andy Abu Thalib Al-Atsary, Penerbit Darul Qalam]
_________
Foote Note
[1]. Seluruh fatwa berikut dinukil dari kumpulan fatwa : Bara’atul Ulama Al-Ummah Fii Tazkiyati Ahli Bid’ah wal Madzmummah, disusun oleh Asham bin Abdullah Al-Sanany, Maktabah Al-Furqon Riyadh 2001
[2]. Fatwa ini berdasar atas tulisan tangan yang ditulis oleh Syaikh Al-Albani di akhir hayat beliau. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajatnya, memuliakannya dan membalas kebiakannya.
[3]. Majalah Al-Da’wah no. 1591/9 Muharram 1418H dan juga dalam rekaman tertanggal 23/2/1421H
[4]. Rekaman tertanggal 9/6/1421H
[5]. Rekaman tertanggal 7/11/1414H
[6]. Dimuat di Al-Qawashim oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali (hlm, 24) atas rekaman tertanggal 3/1/1415H
[7]. Lihat Fii Zhilalil Qur’an IV/2328, VI/3408
[8]. Rekaman tahun 1413H
More aboutFATWA-FATWA PARA ULAMA TENTANG SAYYID QUTHB

Qardhawi: Sayyid Quthub Yang Paling Bertanggungjawab Atas Berkembangnya Islam Radikal

Diposting oleh Abu Najih



Sayyid Qutub di mata Qardhawi

Ketua persatuan ulama Muslim internasional, Syekh Yusuf al-Qardhawi, menyatakan pemikiran takfir (pengkafiran pada muslim lain) dalam kitab-kitab Sayyid Quthb sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut mayoritas umat Islam di dunia. Pemikiran ini, tambah Qardhawi, juga tidak mencerminkan pemikiran gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, karena pemikiran takfir sama sekali tidak selaras dengan pemikiran Ikhwan al-Muslimin.

Pernyataan Qardhawi ini disampaikan dalam dialog dengan Dr Dhia Rishwan, peneliti gerakan Islam terkemuka asal Mesir, dalam program acara televisi "Manabir wa Madafi" (Mimbar dan Debat) yang disiarkan oleh kanal al-Fara'in Mesir pada Jumat (7/8), sebagaimana dilansir IslamOnline.net.

Dari Moderat ke Konservatif

Menurut Qardhawi, Sayyid Quthb bergabung dan aktif di organisasi al-Ikhwan al-Muslimun sejak awal tahun 50-an atas dasar ketertarikan dan kekagumanya pada Ikhwan. Pada mulanya, Quthb berpemikiran moderat dan selaras dengan Ikhwan, namun lama kelamaan, Quthb berubah menjadi lebih konservatif.

Perubahan ini terjadi pada akhir-akhir masa hidupnya, khususnya dalam kitab tafsir Fi Dzilal al-Qur'an (Dalam Naungan Alquran) dan kitab Ma'alim fi at-Thariq  (Rambu-Rambu Jalan). Perubahan ini juga sangat jelas terbaca ketika kita bandingkan Dzilal cetakan pertama dan cetekan keduanya, pada cetakan kedua lah mulai muncul pemikiran hakimiyah (masyarakat hukum) dan jahilyah (masyarakat jahiliyah.

"Ahlussunnah tidak pernah condong kepada takfir, tidak sebagaimana yang sering dilakukan oleh sekte Khawarij," jelas Qardhawi.

Pemikiran takfir tersebut, lanjut Qardhawi, berkembang ketika ia mendekam di penjara. Kondisi ini cukup memengaruhi pemikiranya. Quthb menganggap pemerintah yang ada sebagai komunis dan jauh dari agama.

Meski demikian, jika saja Sayyid Quthb saat itu tidak digantung (pada 29 Agustus 1966) dan diberi kesempatan untuk hidup normal (tidak dalam tekanan politik) dan berbaur dengan masyarakat, kemungkinan pemikiran Quthb akan berubah dan kembali lagi kepada pemikiran moderat.

Quthb dan Pendidikan Ikhwan

Menurut Qardhawi, Sayyid Quthb merupakan salah seorang yang sangat mengagumi sosok Imam Hasan al-Banna, pendiri Ikhwan. Atas ketertarikan ini, Quthb pun menulis buku berjudul  Hasan al-Banna wa 'Abqariyyah al-Banna (Hasan al-Banna dan Kejeniusan Seorang Pendiri).

Meski demikian, pada perjalanan selanjutnya, masih menurut Qardhawi, Quthb lebih dipengaruhi oleh pemikiran Abul A'la al-Mawdudi, tokoh Islam sezamannya dari Pakistan.

Namun menurut Qardhawi pemikiran takfir dan tajhil (menganggap masyarakat Islam saat ini adalah jahiliyyah) sangat berbeda dengan pemikiran Mawdudi sendiri.

"Pemikiran Quthb lebih kepada pencampuran antara Ikhwan, Salafi, dan Jihadi," jelas Qadhawi.

"Sayyid Quthb adalah sastrawan, pemikir, cendikiawan, penafsir, dan tokoh Islam terbesar pada masanya," terang Qardhawi. Namun, tambah Qardhawi, Quthb adalah orang yang paling bertanggung jawab atas berkembangnya aliran pemikiran radikal yang sekarang marak di kalangan sebagian umat Islam. (muslimdaily/rol)
More aboutQardhawi: Sayyid Quthub Yang Paling Bertanggungjawab Atas Berkembangnya Islam Radikal

MENYINGKAP SYUBHAT TERHADAP DAKWAH SALAFIYYAH “Apakah Syaikh Rabi’ Al-Madkholi dan Syaikh Bakr Abu Zaid Berselisih Dalam Masalah Manhaj?”

Diposting oleh Abu Najih

MENYINGKAP SYUBHAT TERHADAP DAKWAH SALAFIYYAH


Oleh :
Abu Salma Muhammad al-Atsari

الحمد لله، والصلاة والسلام على خير خلق الله محمد بن عبد الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه. أما بعد:
Di tengah kesibukan yang padat ini, berpuluh-puluh email masuk ke inbox saya mempertanyakan tentang “surat pribadi” Syaikh Bakr Abu Zaid kepada Syaikh Rabi’ yang berisi pengingkaran Syaikh Bakr terhadap Syaikh Rabi’ tentang masalah pemikiran Sayid Quthb yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ dalam bukunya yang nafi’ (bermanfaat) “Adhwa` Islamiyyah ‘ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi”. Diantara beberapa email itu ada email dari beberapa kalangan yang mencela Syaikh Rabi’ bin Hadi dengan hujjah surat pribadi tersebut. Mereka mengklaim bahwa (1) Syaikh Bakr Abu Zaid mengkritik Syaikh Rabi’ bin Hadi secara keras dan berlepas diri dari karya beliau al-Adhwa`, (2) Syaikh Bakr memiliki manhaj yang berbeda dengan Syaikh Rabi’ dan (3) Syaikh Bakr membela dan memuji Sayyid Quthb.

Sebenarnya, pada du’at dan asatidzah-lah yang lebih berhak menjawab masalah ini, dan saya sendiri telah mendengar bahwa beberapa du’at dan asatidzah salafiyyah ada yang telah memberikan jawaban tentang masalah ini di dalam di dalam majelis ilmu dan ta’lim mereka hafizhahumullahu. Namun, sayangnya berita dan klarifikasi ini hanya berhenti sampai di majelis ilmu tersebut dan tidak begitu tersebar di dunia maya ini –Allohu Ta’ala a’lam-. Padahal fitnah dan syubhat ini bergulir dan menyebar begitu cepatnya di dunia maya, sehingga masalah ini menyebabkan beberapa syabab muslim terfitnah dan termakan oleh syubuhat ini.

Oleh karena itu, dalam upaya mengambil bagian saling menasehati di dalam kebajikan dan ketakwaan, serta bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, saya berupaya sedikit menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk turut memberikan ‘nasihat’ dan klarifikasi sejauh apa yang saya ketahui. Namun apa yang saya utarakan ini hanyalah bersifat global dan sekelumit saja, adapun perincian secara mendetail, mungkin di lain waktu ada beberapa du’at atau thullabul ‘ilmi yang lebih mumpuni dari saya yang menjelaskannya secara lebih terperinci, sehingga syubuhat yang bercokol pada sebagian kalangan saudara kita kaum muslimin dapat sedikit tereliminir –atau minimal terminimalisir-.

Sejauh pengetahuan saya, terjemahan surat pribadi Syaikh Bakr Abu Zaid ini mulai dikenal luas oleh kaum muslimin Indonesia semenjak buku kontroversial yang ditulis oleh Saudara Farid Nu’man dalam bukunya “Al-Ikhwanul Muslimun : Anugerah Yang Terzhalimi” terbit –Wallohu a’lam bish showab-, kemudian mulai ramai diperbincangkan di forum-forum internet tanah air –walaupun di forum-forum diskusi berbahasa Arab dan Inggris telah lebih dulu menyebar-, lalu turut mengambil bagian Ustadz Abduh Zulfidar Akaha dalam bukunya “Siapa Teroris Siapa Khowarij” (selanjutnya : STSK, hal. 322, footnote no. 632) dan terakhir –bukan yang paling akhir- adalah saudara Abu Abdirrahman ath-Thalibi dalam bukunya “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak 2 (selanjutnya : DSDB2 hal. 198)”.

Sesungguhnya hal semacam ini tidaklah mengherankan, karena diantara karakter ahlul ahwa’ itu adalah mengambil apa yang selaras dengan nawa nafsunya dan menelantarkan apa yang bertentang dengan hawa nafsunya. Sungguh indah sekali apa yang diutarakan oleh Ibnu Uyainah dalam al-Hilyah (VIII/339) :
ليس العاقل الذي يعرف الخير والشر ، إنما العاقل الذي إذا رأى الخير اتبعه ، وإذا رأى الشر اجتنبه
“Orang yang berakal itu bukan lah orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan, namun sesungguhkan orang yang berakal itu adalah apabila ia melihat kebaikan maka ia mengikutinya dan apabila ia mendapatkan keburukan ia menjauhinya.” [Dinukil melalui perantaraan Kasyfu Syubuhaat al-Ashriyah ‘anid Da’watil Ishlahiyah as-Salafiyyah, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis, dalam islamicancient.com)

Sekarang mari kita memasuki pembahasan dan insya Alloh pembahasan ini agar lebih mudah difahami akan saya buat dalam bentuk tanya jawab –sebagaimana ushlub yang digunakan oleh Fadhilatusy Syaikh Sa’d bin ‘Abdirrahman al-Hushayyin (salah seorang murid senior Imam Ibnu Baz dan kepercayaan beliau rahimahullahu sebagai Musytatar ad-Diini (Penasehat Agama) bagi Yordania) dalam buku beliau yang bermanfaat Sayyid Quthb Rahimahullahu Baina Ro’yain-.

Apakah Al-‘Allamah Bakr Abu Zaid Dan Al-‘Allamah Robi’ bin Hadi Saling Bermusuhan?
Bagi yang membaca karya-karya kedua ‘Allamah ini niscaya akan mengetahui bahwa mereka adalah sahabat yang saling mencintai. Keduanya adalah dua orang alim yang sibuk dengan ilmu dan menyebarkannya. Kedua-duanya saling menasehati antara satu dengan lainnya di dalam perkara yang mereka perselisihkan, hal ini terbukti bahwa surat Syaikh Bakr yang ditujukan kepada Syaikh Rabi’ adalah surat pribadi dan rahasia, dimana Syaikh Bakr memberikan nasehat khusus secara pribadi kepada Syaikh Rabi’ atas ketidaksetujuannya terhadap beberapa hal yang ada pada karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi.

Apakah Syaikh Bakr Ridha Dengan Tersebarnya Surat Rahasia Beliau Kepada Syaikh Rabi’?
Untuk menjawab masalah ini, maka saya bawakan ucapan para ulama sejawat Syaikh Bakr dan Syaikh Rabi’, karena mereka hafizhahumullahu yang lebih layak untuk menjelaskannya.
Syaikh Sa’d al-Hushayyin hafizhahullahu dalam risalah Sayyid Quthb Baina Ro’yain (bab Muqoddimah) menjelaskan bahwa penyebaran risalah pribadi Syaikh Bakr adalah atas ketidaktahuan Syaikh Bakr dan ketika beliau mengetahuinya, beliau tidak meridhainya. Penyebaran risalah ini mulai disebarkan hampir 8 bulan semenjak tanggal penulisannya.

Di dalam al-Haddul Fashil, Syaikh Rabi’ menceritakan bahwa ketika surat pribadi Syaikh Bakr ini menyebar, Syaikh Rabi’ bin Hadi sendiri menghubungi beliau –Syaikh Bakr- dan menanyakan hal ini –siapa yang menyebarkan risalah ini ke kalangan umum?-, maka Syaikh Bakr menjawab :
هؤلاء يريدون أن يفرقوا بين الأحبة
“Mereka (adalah) orang-orang yang menghendaki untuk memecah belah antara orang yang saling mencintai” [Lihat Al-Haddul Fashil, muqoddimah].

Perhatikanlah ucapan Syaikh Bakr yang mengatakan “antara orang yang saling mencintai”! ini menunjukkan bahwa kedua ‘Allamah ini adalah orang yang saling mencintai, tidak sebagaimana yang dikira oleh kaum hizbiyyun harokiyyun, yang mengaduk di air keruh.

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkholi ketika turut mengkonfirmasi dengan menanyakan hal ini kepada Syaikh Bakr, beliau menginformasikan bahwa Syaikh Bakr mencela orang yang menyebarkannya dan menjelaskan bahwa risalah beliau tersebut telah dicuri darinya dan disebarkan tanpa keridhaan beliau. [ibid.]
Lantas bagaimana dengan orang-orang yang menyebarkan risalah ini ke khayalak umum padahal penulis risalah tersebut tidak meridhai penyebarannya, apakah layak dikatakan bahwa mereka ini semua adalah pencuri?!! Ataukah pengkhianat?!! Ataukah perusak ukhuwah atau pengadu domba?!! (padahal mereka senantiasa menggembargemborkan ukhuwah dan ukhuwah)?!!

Apakah Syaikh Bakr berselisih dengan Syaikh Rabi’ dalam masalah manhaj?
Syaikh Sa’ad al-Hushayyin menjawab :
معاذ الله! بل هما متفقان كل الاتفاق على الالتزام بمنهاج الكتاب والسنة، كما فهمه سلف الأمة ، علماً وعملاً
“Ma’adzalloh! Bahkan keduanya bersepakat dengan sebenar-benarnya kesepakatan di atas iltizam dengan manhaj al-Kitab dan as-Sunnah sebagaimana yang difahami oleh Salaful Ummah, baik secara ilmu maupun amal…” [Sayyid Quthb Baina Ro’yain].

Beliau hafizhahullahu lalu menjelaskan poin-poin perinciannya yang terangkum dalam hal sebagai berikut :
  1. Keduanya sama-sama belajar ilmu syar’i sampai mendapatkan gelar tinggi dalam dirosah al-Ashriyah (studi kontemporer) yaitu gelar doktor, dan keduanya mencapai ufuk ilmu yang luas. Walau dalam hal ini Syaikh Bakr dikenal di kalangan umat Islam Arab akan penentangannya terhadap istilah gelar doktor dan menganggapnya sebagai bagian dari taqlid terhadap budaya ‘ajami yang bid’ah sebagaimana beliau uraikan dalam buku beliau yang berjudul Taghrib al-Alqob al-‘Ilmiyyah. Yang benar bahwa kedua muhaqqiqin (peneliti) ini, yaitu Syaikh Bakr dan Syaikh Rabi’ hafizhahumallohu qudwatan sholihatan di dalam ciri khas keilmuan dan amal, lebih besar daripada gelar-gelar studi kontemprer yang ada saat ini.
  2. Alloh Azza wa Jalla memberikan taufiq kepada mereka berdua sebagai petugas pengemban ilmu dan amal syar’i yang tinggi. Syaikh Bakr bertugas sebagai anggota Kibar al-‘Ulama` sedangkan Syaikh Rabi’ sebagai Dekan Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah.
  3. Keduanya aktif menulis sejumlah karya yang menyokong dan menyebarkan agama yang haq dan mendakwahkan kepadanya di atas bashiroh.
  4. Alloh Azza wa Jalla memberikan ciri khas kepada mereka berdua dengan iltizam kepada manhaj nubuwwah di dalam agama dan dakwah, menyebarkan tauhidullah dengan ubudiyah dan ittiba’us sunnah serta memerangi syirik kepada Alloh di dalam peribadatan dan segala bentuk kebid’ahan serta tafaruq di dalam agama.
  5. Keduanya sama-sama mengingkari manhaj-manhaj produk manusia dan akal fikiran serta segala bentuk intima’ (kecondongan) kepada jama’ah-jama’ah, partai-partai dan kelompok-kelompok yang diperdaya oleh Syaithan untuk memecah belah persatuan umat di atas tauhid dan sunnah. Keduanya mengerahkan upaya yang besar dan berbarakah di dalam mentahdzir dari penyimpangan ini dan mengembalikan umat islam –dengan pertolongan Alloh- kepada manhaj sunnah yang ma’shum (terpelihara).
 Apakah Mereka Berdua Berselisih di dalam Wasilah (Sarana) ataukah Uslub (Cara)
Syaikh Sa’ad al-Hushayyin menjawab : Keduanya tidak berselisih di dalam wasilah yang telah Alloh pilihkan bagi para nabi dan rasul-Nya di dalam dakwah kepada jalan-Nya di atas bashiroh berupa petunjuk Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Namun mereka berdua berselisih di dalam uslub dan adah (kebiasaan) yang tidaklah mengapa ada perselisihan di dalamnya, yaitu :
  1. Syaikh Bakr lebih cenderung inqitho’ (terputus) di dalam pembahasan ilmu, jauh dari berhubungan langsung dengan manusia. Hampir keseluruhan waktu beliau habis di maktab (kantor) dan maktabah (perpustakaan) beliau. Oleh karena itulah mayoritas karya tulisnya lebih banyak berupa pembahasan maudhu’i (pertema) dan jauh dari naqd al-Mu’ayyan (kritik secara spesifik ke orang tertentu). Kritik beliau secara spesifik –sejauh pengetahuan saya (Syaikh Sa’ad) tidaklah keluar dari beliau melainkan hanya kepada Ustadz ‘Abdul Fatah Abu Ghuddah –pimpinan Ikhwanul Muslimin di Suriah- tajawazallohu ‘anna wa ‘anhu dan Ustadz Muhammad ‘Ali ash-Shobuni –semoga Alloh menutup usia kita dan beliau dengan mengikuti sunnah dan berlepas dari bid’ah-.
  2. Adapun Syaikh Rabi’, maka waktu beliau lebih banyak digunakan untuk liqo’ (mengadakan pertemuan) dengan thullabul ‘ilmi dan para du’at. Rumah beliau senantiasa terbuka bagi siapa saja yang ingin menggali ilmu belajar dari beliau maupun lawan yang ingin berdiskusi dengan beliau.
  3. Dari dua uslub dan kebiasaan inilah muncul perselisihan antara keduanya tentang masalah pemikiran Sayyid Quthb rahimahullahu. [Masalah ini dibahas panjang oleh Syaikh Sa’ad dan uraian beliau akan diturunkan dalam pembahasan yang lain insya Alloh]
Bukankah Bantahan Syaikh Bakr Kepada Syaikh Rabi’ Menunjukkan Bahwa Syaikh Bakr Memuji Sayyid Quthb?
Tidaklah demikian. Karena tidaklah surat Syaikh Bakr ditulis dimaksudkan untuk membela segala kesalahan Sayyid Quthb.

Apa yang diuraikan oleh Syaikh ’Abdul ’Aziz ar-Rayyis dalam Kasyfu Syubuhaat al-Ashriyyah ’anid Da’watil Ishlahiyyah as-Salafiyyah (hal 58, softcopy dari islamicancient.com) telah mencukupi untuk menjelaskan hal ini. Beliau hafizhahullahu berkata :
  1. Bahwasanya Syaikh Bakr Abu Zaid tidak pernah menyebut di dalam surat beliau bahwa Sayyid Quthb adalah orang yang beraqidah dan bermanhaj salafi. Bahwasanya tujuan penulisan surat beliau itu adalah untuk menunjukkan ketidaksepakatan beliau atas uslub Syaikh Rabi’ dan beberapa kritikan Syaikh Rabi’ terhadap Sayyid Quthb, bukan artinya Syaikh Bakr menolak semua kritikan Syaikh Rabi’ kepada Sayyid Quthb.
  2. Sekiranya dianggap bahwa Syaikh Bakr menolak kesalahan (yang disandarkan kepada) Sayyid Quthb, maka sesungguhnya ulama-ulama lainnya yang lebih ’alim dari beliau banyak yang menyelisihi beliau. Cukuplah bagi mereka kritikan Samahatusy Syaikh ’Abdul ’Aziz bin Baz dan Muhaddits Kontemporer Al-Albani rahimahumallahu.
  3. Sekiranya dianggap bahwa Syaikh Bakr menolak kesalahan aqidah yang membahayakan pada Sayyid Quthb (seperti wahdatul wujud dan semisalnya, pent.), maka sesungguhnya yang pertama kali akan membantah beliau adalah buku-buku Sayyid Quthb sendiri, dimana Sayyid mencela para sahabat dan keburukan-keburukan lainnya yang banyak yang tersebar luas yang tidak mungkin bagi seorangpun mengingkarinya. (dikarenakan banyaknya bukti, pent.)
Saya berkata* :
[* Harap difahami bahwa apabila saya mengatakan ”Saya Berkata” bukanlah artinya saya menempatkan diri sebagai seorang ulama atau orang yang alim mumpuni, namun saya melakukannya hanya sekedar untuk memisahkan antara ucapan saya dengan selainnya].

Syaikh Bakr Abu Zaid memiliki karya-karya ilmiah yang sangat bertentangan dengan aqidah dan manhaj Sayyid Quthb, termasuk manhaj kaum harokiyyin hizbiyyin yang menjadi poros penyebaran risalah pribadi ini hanya untuk membela hizbiyyah mereka.

Syaikh Bakr Abu Zaid mencela dan mentahdzir dari jama’ah-jama’ah Islamiyyah yang menyeleweng di dalam buku beliau yang anggun Hukmul Intima` ilal Firoqi wal Jama’aat wal Ahzaab al-Islamiyyah, yang mana kaum hizbiyyun alergi dengan buku ini dan tidak mau merujuk kepadanya. Syaikh Bakr juga menulis buku yang sangat bernilai diantaranya adalah :
  1. Ar-Roddu ’alal Mukhoolif min Ushuulil Islaam wa Marootibil Jihaad
  2. Tahriifun Nushuush min Adillati Ahlil Ahwa’
  3. Baro’atu Ahlus Sunnah minal Waqii’ah fi Ulama`il Ummah
  4. Hajrul Mubtadi’
Dan lain sebagainya.
Bahkan di dalam buku Kutubu Hadzdzaro minhal al-’Ulamaa` karya Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, Syaikh Bakr memberikan taqdim sebagai berikut :

”Sesungguhnya penulisan di dalam masalah buku-buku yang para ulama mentahdzirnya, adalah suatu bab besar yang merupakan satu pintu dari pintu-pintu di dalam memberikan nasehat kepada ummat dan merupakan perisai dari perkara-perkara yang mengaburkan bagi agama, ibadah, akhlak dan tauhidnya kepada Rabbnya…” [Kutubu Hadzdzaro minhal Ulama`, Syaikh Abu ’Ubaidah Masyhur Hasan Alu Salman, Jilid 1, Daar as-Shomi’i, cet. 1, 1415 H./1995 M., hal. 3]

Oleh karena itu, seharusnya bagi kaum hizbiyyun itu untuk membaca dan menerima karya-karya Syaikh Bakr lainnya yang telah tersebar luas, bukannya malah mengambil apa yang sesuai dengan hasrat mereka namun meninggalkan apa yang tidak selaras dengan nafsu mereka.

Apakah Syaikh Rabi’ Orang Yang Pertama Mengkritik Sayyid Quthb?
Tidak benar. Sebelum Syaikh Rabi’ ada beberapa ulama dan masyaikh yang mengkritik Sayyid Quthb. Diantaranya adalah Syaikh Mahmud Muhammad Syakir yang membantah celaan Sayyid terhadap Shahabat Utsman dan Mu’waiyah radhiyallahu ’anhuma.

Syaikh ’Abdul Lathif as-Subki, ketua lajnah fatwa al-Azhar di dalam Majalah ”ats-Tsaqofah al-Islamiyyah” yang diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan Keislaman (Majlis al-A’la lisysyu`unil Islamiyyah) no. VIII, tahun XXIII, 23 Sya’ban 1385 (24 November 1965) menurunkan bantahan kepada Sayyid Quthb dan bukunya Ma’alimu fith Thariq. [Dari website resmi Syaikh Muhammad al-Hamud an-Najdi, dalam artikel berjudul Al-Azhar yaruddu ’ala Fitnati Sayyid Quthb].

Demikian pula dengan Syaikh ’Abdullah ad-Duwaisy rahimahullahu yang mengkritik kitab Fi Zhilalil Qur’an dalam buku beliau yang bernilai Al-Mauriduz Zilaal fit Tanbiih ’ala Akhtho’iz Zilaal. Demikian pula Syaikh al-Albani dalam beberapa muhadhoroh Silsilah al-Huwa wan Nur yang mengkritik Sayyid Quthb dalam beberapa hal.
Bahkan para pembesar Harokiy sendiri mengkritik Sayyid Quthb, seperti DR. Yusuf al-Qordhowi, Abul Hasan an-Nadwi, ’Ali Jarisyah dan Farid ’Abdul Khaliq dalam masalah takfir. Mantan Mursyid’ Am Hasan Hudhaibi berserta beberapa tim Ikhwanul Muslimin turut membantah Sayyid Quthb di dalam kitab Du’aat La Qudhoot.

Setelah Syaikh Rabi’ ada beberapa ulama turut meneliti dan mengkritisi pemikiran Sayyid Quthb, semisal Syaikh Muhammad al-Hamud an-Najdi dalam kitab beliau al-Qoul al-Mukhtashor al-Mubiin fi Manahijil Mufassirin mengkritik Sayyid dalam masalah ta’wilush Shifat dan indikasi wahdatul wujud dalam penafsiran Sayyid terhadap surat al-Ikhlash.

Diantaranya pula ada kitab berjudul Baro`atu Ulama`il Ummah min Tazkiyati Ahlil Bid’ah karya Syaikh Isham bin ’Abdillah as-Sinani dan dimuroja’ah oleh al-’Allamah Shalih Fauzan dan dibaca kembali oleh Faqihuz Zaman al-’Allamah Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. Di dalam risalah ini termuat kritikan para masyaikh salafiyyin terhadap Sayyid Quthb, seperti : Syaikh Ibnu Baz, al-Albani, al-’Utsaimin, al-Fauzan, Shalih al-Luhaidan, ’Abdullah al-Ghudayyan, ’Abdul Muhsin al-’Abbad, Hammad al-Anshori, Shalih Alu Syaikh, dan lainnya.

Sebagai informasi pula, bahwa ketika Syaikh Rabi’ menulis buku al-Adhwa`, beliau tidak hanya mengirimkan naskah tersebut kepada Syaikh Bakr untuk diberikan koreksi dan catatan, namun beliau juga mengirimkannya kepada beberapa masyaikh seperti : Syaikh Ibnu Baz, Syaikh ’Utsaimin, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh al-Albani, Syaikh ’Abdul Muhsin al-’Abbad, Syaikh Muhammad Aman al-Jami, Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkholi dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi hafizhahumullahu hayyahum wa rahimallahu mayyitahum. [Lihat al-Haddul Fashil, op.cit.] Dari kesemua masyaikh tersebut hanya Syaikh Bakr saja yang menunjukkan penolakan terhadap beberapa masalah. Allohu a’lam.

Bagaimana Dengan Nukilan Abduh ZA Yang Menyatakan Bahwa Syaikh ’Abdul ’Aziz Alu Syaikh Memuji ”Fi Zhilalil Qur’an”?
Di dalam STSK (hal. 326) dan dinukil oleh ath-Thalibi dalam DSDB2 (hal. 198) menukilkan ucapan Syaikh al-’Allamah ’Abdul ’Aziz Alu Syaikh yang memuji tafsir ”Fi Zhilaalil Qur’an”. Ath-Thalibi hanya memetikkan nukilan tersebut sbb : ”Kalau saja mereka mau menyelaminya lebih dalam, dan mengulangi bacaannya, sungguh akan jelas bagi mereka kesalahan mereka dan kebenaran Sayyid Quthb.”
Di dalam forum website albaidha’ yang dipimpin oleh Syaikh ‘Ali Ridha, terdapat penukilan bahwa beberapa masyaikh telah memberikan nasehat dan kritikan terhadap pandangan mufti al-’Allamah Alu Syaikh ini. Di antaranya adalah Syaikh Sa’ad al-Hushayyin yang mengirimkan surat teguran resmi langsung kepada sang mufti hafizahullahu. Termasuk pula Syaikh ’Ali Hasan al-Halabi yang memuat pembahasan khusus di dalam website beliau tentang masalah ini.
Di dalam kaset Syarh Masa`ilil Jahiliyah, kaset ke-7, side B, Syaikh Alu Syaikh juga pernah ditanya tentang tafsir Fi Zhilalil Qur’an, maka beliau menjawab :
”Adapun Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb merupakan salah satu tafsir yang mengandung banyak sekali tema-tema yang padanya ada penjelasan bagi beberapa ayat, penjelasan yang baik. Yaitu, di dalamnya terdapat bentuk penjelasan dengan gaya sastera dan bahasa yang indah hingga membuat pembacanya dapat memahami maksud ayat tersebut secara umum yang kemudian dikaitkan dengan realita yang ada…”
Beliau lalu mengatakan :
”Demikian pula dalam buku itu terdapat banyak sekali bid’ah dan kesesatan. Buku Sayyid Quthb ”Fi Zhilalil Qur’an” ini mengandung lebih banyak penyimpangan ketimbang bukunya (Muhammad Ali) ash-Shobuni (yang menulis Shofwatut Tafsir, yang diterbitkan Pustaka al-Kautsar, pent.), dan diantara penyimpangan tersebut adalah :”
[Di sini akan saya ringkas karena panjangnya penjelasan beliau, bagi yang ingin mengetahui lebih lengkap ucapan Syaikh Alu Syaikh ini bisa merujuk ke dalam kitab Fatawa al-’Ulama` al-Akabir fil Irhaab wat Tadmiir wa Dhowabithul Jihaad wat Takfiir oleh Abul Asybal al-Mishri]
  1. Memiliki kecondongan kepada kelompok Shufiyah yang berpemahaman Wahdatul Wujud, walaupun tidak secara manthuq (jelas) namun dapat difahami dari perkataannya sebagai hal tersebut.
  2. Menyatakan bahwa pembahasan bertambah dan berkurangnya iman adalah termasuk pembahasan ilmu kalam yang tidak perlu dibahas.
  3. Menafsirkan kata ”Robb” dengan ”Ilah” dan ”Ilah” dengan ”Rob”, padahal makna keduanya memiliki perbedaan yang nyata.
  4. Tidak memahami masalah ketaatan kepada kaum musyrikin dan memahaminya secara zhahir dan berlebihan.
  5. Melakukan Takfir dalam masalah ketaatan secara tidak benar.
  6. Buku Fi Zhilalil Qur’an tidak memiliki perhatian yang cukup kepada manhaj yang ditetapkan ahlus sunnah.
  7. Membuat taqsim muhdats dengan bersintinbat dari surat Yusuf akan adanya dua fikih, yaitu fikih teori dan fikih waqi’.
Lalu Syaikh menutup ucapannya dengan nasehat yang bagus sebagai berikut :
”Orang ini (Sayyid Quthb) memiliki pendapat-pendapat yang bervariasi dan saling bertentangan apabila diteliti. Oleh karena itu bagi para penuntut ilmu yang antusias di dalam menuntut ilmu agar menelaah buku-buku as-Salaf ash-Sholih, menelaah buku-buku yang mengandung ilmu berfaidah yang bersih dan suci. Adapun kitab-kitab yang mengandung kebatilan, penyimpangan dan mengandung pendapat-pendapat subyektif yang tidak memiliki dalil yang terang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan tidak selaras dengan pemahaman ulama ahlus sunnah wal jama’ah, maka dikhawatirkan para thullabul ilmi yang membaca buku-buku semacam itu akan tergelincir dan tertanam di dalam hatinya syubhat, padahal seseorang yang antusias dan bersemangat di dalam menjaga agamanya, sepatutnya ia tidak menjatuhkan dan membawa diri dan hatinya ke dalam syubhat.”
Saya berkata :
Sekiranya apabila Syaikh Alu Syaikh dianggap telah memuji ”Fi Zhilalil Qur’an”, maka tetap hal ini bukan artinya beliau memuji Sayyid Quthb dan membela kesesatan dan penyimpangan Sayyid rahimahullahu, dengan alasan :
  1. Memuji suatu karya seorang tokoh yang memiliki kesalahan bukan artinya otomatis memuji tokoh itu. Karena seringkali pujian itu jatuh kepada perkara yang tampak sebagai suatu kebaikan sedangkan di tempat atau karya lainnya kesalahan-kesalahan itu bertebaran.
  2. Memuji kebenaran yang ada pada seseorang bukan artinya otomatis turut memuji semua yang ada pada orang itu berupa kesalahan-kesalahan, penyimpangan dan kesesatan.
Bagaimana Sikap Kita Di Dalam Perselisihan Kedua ’Allamah ini?
Sepatutnya bagi para penuntut ilmu pemula supaya mereka menyibukkan diri dengan ilmu dan tidak menyibukkan diri dengan perselisihan yang terjadi. Adapun kepada para penuntut ilmu yang telah tercemari oleh berita dan syubuhat yang dilontarkan oleh kaum hizbiyun yang ’mengaduk di air keruh’ untuk mencemarkan dakwah salafiyyah dan tokoh-tokohnya, maka hendaklah mereka bersikap tenang dan tidak gegabah, berupaya melalukan verfikasi dan cek-ricek, bertanya kepada ahli-ilmu dan melakukan tahqiq atas kedua hujjah kedua ulama yang berbeda pendapat ini.

Janganlah kita menjadi orang yang fanatik terhadap individu-individu tertentu karena manhaj salaf tidaklah dibangun di atas fanatisme terhadap individu-individu tertentu. Dengan demikian kita tidak membela Syaikh Bakr dikarenakan beliau adalah anggota Ha`iah Kibaril Ulama dan kita tidak membela Syaikh Rabi’ dikarenakan beliau adalah pembawa bendera Jarh wa Ta’dil di zaman ini. Tidak!!! Kita membela yang haq dari mereka dan kita meninggalkan yang salah dari mereka tanpa mencela salah satu dari keduanya.
Kita tidak mencela Syaikh Bakr Abu Zaid sebagaimana yang dilakukan kaum ghulat haddadiy Falihiy dan tidak pula mencela Syaikh Rabi’ sebagaimana yang dilakukan kaum ghulat hizbiy takfiriy. Keduanya adalah kedua alim salafiy yang tidak ma’shum bisa salah dan bisa benar. Kita ambil yang selaras dengan haq dan kita tinggalkan yang menyelisihi kebenaran.

Sungguh indah do’a penutup yang diucapan Syaikh Sa’ad al-Hushayyin di dalam risalahnya yang berfaidah –Sayyid Quthb baina Ro’yain-, beliau berkata :
وجزى الله الشيخ ربيع بن هادي المدخلي خير جزائه لمحاولته ردّ شباب الأمة إلى شرع الله، وتحذيرهم من فكر التكفير والانعزال والخروج عن الجماعة والولاية، وجزى الله الشيخ بكر بن عبدالله أبو زيد خير جزائه لمحاولته تصحيح أسلوب نقد المسلم للمسلم
”Semoga Alloh mengganjar Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi dengan balasan yang baik atas upaya beliau di dalam mengembalikan para pemuda umat kepada syariat Alloh dan mentahdzir dari pemikiran takfir, pemutusan dan keluar dari al-jama’ah dan al-wilayah, dan semoga Alloh membalas Syaikh Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid dengan balasan yang baik atas upaya beliau di dalam meluruskan uslub (cara) seorang muslim mengkritik muslim lainnya.”
More aboutMENYINGKAP SYUBHAT TERHADAP DAKWAH SALAFIYYAH “Apakah Syaikh Rabi’ Al-Madkholi dan Syaikh Bakr Abu Zaid Berselisih Dalam Masalah Manhaj?”